Thursday, December 26, 2019

Mencoba Menjadi Stoik

Kalian tahu apa itu stoicism?

sto·i·cism
/ˈstōəˌsizəm/
noun
  1. 1.
    the endurance of pain or hardship without the display of feelings and without complaint.


Belakangan kayaknya istilah ini mulai agak populer di Indonesia karena Henry Manampiring bikin buku Filosofi Teras. Gue belum baca sih. Haha. Tapi pernah belajar stoicism ini dulu di kampus.

Intinya, kalau sepemahaman gue, stoic itu gak bereaksi berlebihan terhadap apapun yang terjadi dalam hidup kita, walaupun itu 'menyakitkan'. Kalau kata orang Jawa (baca: bapakku) ora usah getun. Gak usah kecewa berlebihan. Gak usah marah, sedih berlebihan.

Belakangan gue 'kehilangan' dua hal yang cukup signifikan: pertama, saat otw balik ke Cilacap, gue lupa bawa charger, powerbank dan earphone. Waduh, beberapa menit pertama pas baru nyadar, cukup panik. Tapi yaudahlah mau gimana lagi (kayaknya kalimat ini kunci stoicism). Akhirnya yang gue lakukan adalah whatsapp mama, ngabarin kalau misalnya nanti gak bisa dihubungin gak usah panik, karena batre gue lowbatt atau mati. Karena gak bisa dengerin spotify, sepanjang perjalanan gue malah banyak merenung dan akhirnya tidur cukup nyenyak.

Sampai di rumah, masih agak mati gaya juga karena gak ada earphone. Tapi ternyata, karena gak ada konsumsi audio, gue malah bisa menyelesaikan baca dua buku.

Kemalangan (walah lebay) gue gak berhenti sampai di situ. Gue accidentally menghapus semua pesan whatsapp di hape gue termasuk whatsapp dari bang Fay.  Sebelumnya sejak punya hape ini, gue gak pernah hapus pesan di whatsapp, mungkin sudah hampir dua tahun lebih. Again, tapi yaudahlah mau gimana lagi. Karena semua pesan itu terhapus, gue jadi punya free memory untuk menginstall game kesukaan gue, hahaha. 

Intinya, mungkin gue sedang dilatih untuk menjadi stoic, untuk letting go obstacle-obstacle kecil dalam hidup biar bisa terus 'maju'. Dan mengalihkan energi gue untuk hal lain yang lebih penting.

Aja kakehan getun.

Friday, December 20, 2019

Mengenal Diri Sendiri, Sekali Lagi

Jadi, ceritanya, awal tahun ini saya memutuskan bergabung dengan KLIP, kepanjangannya adalah Kelas Literasi Ibu Profesional. Jadi triggered ya ada term 'Ibu'. Walaupun mayoritas membernya memang mereka yang sudah punya anak, yang belum kayak saya juga ada kok (bukan saya doang gituuh). KLIP ini kalau gak salah adalah sub-kegiatan Institut Ibu Profesional-nya Ibu Septi Peni.

Lalu, kenapa saya memutuskan untuk gabung dengan KLIP ini. Awalnya terinspirasi dari Kak Dea Adhicita. Kak Dea adalah mentor liqo saya yang paling uwu (apa pula uwu itu yak?). Saya perhatikan Kak Dea setiap hari menulis di laman facebook atau blognya. Setelah ditelisik, ternyata Kak Dea mengikuti KLIP ini, jadi jebe lah saya.

KLIP ini mengharuskan membernya (kalau bisa) untuk setor satu tulisan setiap harinya. Hal ini menantang saya untuk menjadi 'produktif'. Bahwa cukup menyenangkan merayakan keberhasilan kecil setiap hari, misalnya setor tulisan ke KLIP. Haha. Lalu apakah saya berhasil? tentu tidak, Hahaha. Tapi saya tidak sedang bersaing dengan siapapun, saya sedang bersaing dengan diri saya sendiri di masa lampau. Jadi target saya tahun ini memang: menulis sebisanya, agar semua bisa terdokumentasikan dan tidak menguap begitu saja. Saya cukup bangga sama diri sendiri. Di blog ini, misalnya, tahun ini saya menulis lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya (wow *tepuk tangan sendiri*).



Tema tulisan saya di blog ini memang cukup random, kalau ada panutan yang saya ikuti dalam nge-blog yaitu adalah Pandji, iya Pandji timsesnya Anies Baswedan itu, haha. Walau tahun ini bahkan Pandji udah gak ngeblog lagi, kalau gak salah, dia pernah nulis-atau bilang- bahwa blognya adalah rekaman pikirannya sejak bertahun-tahun lalu, secupu apapun itu. Nah saya ingin memperlakukan blog saya demikian. Ini karena pikiran saya sering sekali berisik dengan banyak hal, dan gak setiap saat ada orang yang available untuk diajak ngobrol. Maka, blog ini adalah 'tantangan' bagi saya apakah saya bisa cukup mengartikulasikan keberisikan dalam otak saya.

Dengan demikian perjalanan menulis tahun ini ya sangatlah egois, untuk mengenal diri sendiri. Hehe. Maka dari itu seharusnya saya biasa aja dengan traffic blog ini yang 'menyedihkan'. Loh kenapa harus sedih? kan memang menulis untuk diri sendiri.

Selain di blog, tulisan yang saya setor ke KLIP juga ada pada instagram, bahkan google documents!. Instagram jadi dopamin banget sih kalau pengen immediate feedback dari followers. Biasanya kalau di instagram memang nulis sesuatu yang pendek, ringan, dan cukup 'aman' untuk dishare ke publik. Artinya saya gak perlu terlalu malu atau cemas dengan persepsi orang saat membaca tulisan saya. Blog ini resikonya intermediate (udah kayak produk investasi aja ada profil resikonya, wkwk). Kadang saya nulis sesuatu yang pengen saya share, tapi gak terlalu pengen dikomentarin. Aneh dah emang aing. Dan saya bahagia banget sih KLIP mengakomodir Google Docs, selama ini Gdocs cuma saya pakai untuk hal-hal terkait pembelajaran dan pekerjaan, tapi asyik juga ya nulis di gdocs, isi otak tertumpahkan namun tidak perlu membanjiri rumah orang lain, asik. Tulisan-tulisan di gdocs murni untuk konsumsi saya sendiri atau terbatas pada member KLIP saja.

Lalu bagaimana tahun depan?

Saya masih akan ikut KLIP, semoga saya makin konsisten merekam buah pikiran saya dalam tulisan-tulisan. Mulai berani beranjak dari zona nyaman, mungkin. Mencoba peruntungan lebih berani menulis di media?.

Saya excited menyambut diri saya sendiri di tahun depan. Satu bab yang pasti akan dibuka: paruh kedua tahun ini saya akan mulai S2 (wuhuu), insya Allah. Semoga saya juga bisa merekam ilmu-ilmu yang saya dapat di bangku kuliah dalam tulisan yang berkualitas, wuhu ambi ya kak.

Bagaimana dengan kuantitas? KLIP me-reward para membernya tiap bulan dengan badge outstanding (30 tulisan), excellent (20 tulisan) dan good (10 tulisan). Saya selalu dapet badge good, karena paling saya cuma menulis 10 tulisan. But, I'm good enough with good. Semoga setiap bulan saya dapet badge minimal good.

Salah satu achievement lain buat saya tahun ini adalah saya berhasil menulis dua cerpen Alexandria dan Abesien. "Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara" seperti kata Seno Gumira Ajidarma. Walaupun bukan jurnalis, saya kepingin menjajal kemampuan sastrawi saya, hihihi. Semoga tahun depan sempat melanjutkan perjalanan saya meramu tulisan fiksi.

Menulis adalah skill, maka dari itu saya juga ingin memoles keahlian saya ini dengan belajar berbagai teknik kepada orang lain. Semoga ada kesempatan, dan uang. Haha

Terakhir, tahun depan saya ingin ngobrol dengan lebih banyak orang. Terinspirasi dari 30 Days of Lunch nya Ruby dan Ario. Tapi saya masih belum tahu bagaimana nanti akan mengintisarikan pertemuan-pertemuan itu. Semoga bisa dalam bentuk tulisan.

Wabillahi taufiq wal hidayah

"Segalanya menjadi mudah dengan mudah-mudahan" -Joko Pinurbo

Thursday, December 19, 2019

Mundane Things

Medio 2013, saya dipercaya menjadi penanggungjawab materi untuk OKK (Orientasi Kehidupan Kampus) UI. Artinya saya bertugas untuk menyusun kurikulum dan tugas yang diberikan untuk para mahasiswa baru se-Universitas Indonesia.

Saya tidak akan bicara banyak tentang tugas dan program OKK yang saya susun bersama tim, karena tentu masih jauh dari sempurna. Jika kebetulan Anda adalah peserta saat itu, saya minta maaf.

Justru saya selalu mengingat betapa OKK mengubah saya sebagai individu, yang saat itu bukanlah peserta, melainkan panitia.

Mahasiwa/i UI tiap tahunnya ada sekitar 8000 orang, dan saya harus memeriksa SEMUA tugas yang sudah mereka buat. Walaupun sudah dibagi dengan tim, tugas ini rasanya sangat menyiksa. Saya sangat membenci tugas klerikal yang repetitif.

Pada saat itu saya berdoa, atau lebih tepatnya berkata kepada diri sendiri, "kalau saya bisa melewati semua ini, saya akan menjadi lebih baik di hari kemudian".

Benar saja, penderitaan itu berakhir. This too shall pass. 

Beberapa pekerjaan saya berikutnya (yang profesional dan dibayar) juga sering menuntut saya melakukan hal yang klerikal dan repetitif. Dan, saya baik-baik saja. Saya sudah pernah melewati yang jauh lebih buruk.

What doesn't kill you hurts you so damn bad makes you stronger!

Sunday, December 15, 2019

Our Stars Will Never Collide

your mind is a museum I'd like to visit everyday

your heart is a library, which books I really want to steal

your face is a precious artwork I'll never understand

then I thought you were home, you never was

our stars will never collide

Saturday, December 7, 2019

Spaghetti Marshmallow Challenge

Pada waktu onboarding Think Policy Society beberapa waktu lalu, kami bermain Spaghetti Marshmallow Challenge untuk ice breaking atau mengakrabkan diri satu sama lain.

Detail game atau tantangan ini bisa dilihat di sini hahaha dasar penulis malas

Intinya kami sebagai tim disuruh membuat menara dengan spaghetti, selotip dan benang setinggi mungkin dengan marshmallow berada di pucuknya, menara yang paling tinggi yang menang. Waktu pembagian kelompok, kebetulan gue sekelompok sama Afu dan dia langsung bilang "ayo kita fokus menang" hahaha kurang lebih gitu deh. Karena takut tangan gue yang clumsy akan mengacaukan pembangunan menara kami, gue memilih tugas remeh-temeh yaitu: nyobekin selotip. Tapi ternyata dengan demikian pembangunan menara berjalan dengan efektif dan efisien karena stok selotip selalu aman dan tersedia. Duileh serius amat. Dan tibalah masa pengukuran menara masing-masing kelompok daaan, yeaay kelompok kami menang!.
Menara kami yang akhirnya menang! yeay!

Anggota kelompok yang happy karena menang


Setelah game selesai, saatnya wrap-up. Hana, sang instruktur memberi kami tebak-tebakan kira-kira kelompok apa yang paling banyak berhasil dan paling banyak gagal dalam game ini?. Ternyata jawabannya: yang paling sering berhasil: anak TK, yang paling sering gagal: mahsiswa/i MBA. Hahaha. Kenapa begitu? salah satu faktornya adaalah: anak-anak MBA ini terlalu banyak bacot, pake teori dan gak langsung nyobain, ga ada yang mau ngalah.

Ternyata dibahas bahwa peran apapun penting. Exactly keputusan saya untuk guntingin selotip doang adalah sangat tepat. Kalau kata YSEALI, "no act is too small" *kalogaksalah yaa. Haha.

Kalau direfleksikan ke dunia nyata, saya kerap dan sering mengeluh karena yang saya kerjakan terlalu 'remeh-temeh'. Sama seperti pekerjaan guntingin selotip tadi. Tapi toh itulah yang membuat menara berhasil berdiri.

So, remember

No act is too small.


Sunday, December 1, 2019

Kim Ji Young, Born 1982

Beberapa hari lalu nonton film Kim Ji Young, Born 1982. Walaupun telat beberapa menit dan melewatkan scene yang penting, overall film ini memang bagus dan sukses bikin nangis beberapa kali. Huhu

Katanya film ini begitu dibenci di negara asalnya sampai aktrisnya dibully sama netizen. Memang kayaknya semua isu patriarki ditumpahkan dalam satu film sampai beberapa agak terkesan 'maksa'.

Sutradaranya cukup jago melihat segala 'keribetan' dari angle perempuan, misalnya saat Ji Young mau pipis di toilet umum sambil gendong anaknya dan bawa segala tentengan. Mungkin ini pentingnya peran perempuan di segala bidang, biar 'sudut pandang' kita terwakili.

Cerita film ini 'biasa' banget. Bahkan kayak cuma dengerin cerita tetangga atau temen deket lo. Saking 'biasa'nya isu-isu seperti ini lah yang sering diabaikan. Nah mungkin film ini pengingat buat kita untuk look around dan aware dengan orang-orang di sekeliling kita yang mungkin butuh bantuan.



Ini adegan yang relatable banget saat Ji Young nunggu cucian. Gue yang ngelakuinnya seminggu sekali aja bosen banget. Nah dia tiap hari. Tulung 