Monday, January 10, 2022

Momo

Waktu menulis gratitude list kemarin, aku tahu aku bakal nulis tentang Momo.

11 November 2021

Hari itu aku begadang seperti biasa, tiba-tiba melihat insta story yang direpost oleh straycats.club- sebuah kelompok yang suka ngasih makan kucing stray di Cilacap. Seseorang open adopt kucing stray yang ia rescue, aku sudah lama banget pengen pelihara kucing. Sayangnya mbak empunya post ini tinggal di Maos- satu kecamatan di Cilacap yang lumayan jauh dari rumah.

Tapi tekadku makin bulat, beberapa jam kemudian, ketika sudah pagi, aku sudah tidur sebentar, mama juga sudah bangun. Aku bilang ke mama "ma, aku mau pelihara kucing". Mama agak hesitant awalnya, tapi kemudian "ya udah, dari dulu kamu ngomong terus pengen pelihara kucing, tapi pokoknya kamu yang urusin, mama gamau bantu" "oke ma".

Aku gak bilang aku jemput kucing itu dimana, hehe, kalau bilang di Maos pasti gak diijinin. Haha

Singkat cerita aku berangkat dan pulang bawa Momo, dipangku! sambil aku naik motor. First stop aku langsung antar Momo ke klinik, karena dia punya scabies di kepala dan kupingnya. 

posisi Momo dipangku dari Maos ke klinik, sekitar sejam sejauh 17 kilometer :'

Sehari menginap di vet, aku bawa Momo pulang, dia langsung bisa pup dan pipis di litter box. Seneng banget akhirnya punya kucing, bisa diajak main dan kadang diajak ngomong. Lol. Setelah aku telatenin rawat Momo, scabiesnya pun hilang dan makin glowing. Ketika harus kondangan ke nikahan Danti di Jakarta, aku sempat bingung, karena mama sudah ultimatum gak mau merawat Momo. Cherry pet shop menolak dititipi Momo karena masih ada sedikit scabies, beruntung Loly pet shop mau merawat Momo selama aku di Jakarta.




Momo terus tumbuh makin gendut karena lahap makan, aku telaten bikin puding kepala ayam atau hati ayam buat makan Momo, karena Momo gak terlalu doyan dry food (duh, berasa sultan aja kamu Mo). Karena berat badannya sudah cukup (waktu baru direscue berat Momo cuma 600 gram), Momo pun akhirnya vaksin pertama, sesaat setelah vaksin, Momo kayak lemas tapi kemudian pulih lagi.

31 Desember 2021

Malam tahun baru, banyak suara kembang api. Kebetulan kakakku dan keluarganya juga sedang berkunjung ke rumah. Dua keponakanku suka bermain bareng Momo, tapi anehnya Momo mogok makan, dan lemas. Aku gak bisa bawa Momo ke klinik karena libur tahun baru. Baru besoknya aku bawa Momo ke vet di Cherry petshop, Momo disuntik dan diberi obat yang harus aku berikan pake pipet, setiap memberi obat rasanya seperti menyiksa Momo T.T

Karena gak kunjung kembali nafsu makannya, aku bawa Momo ke klinik biasanya, sambil menitipkannya untuk rawat inap karena aku harus mengantar keponakanku ke Denpasar. Dokter sempat bilang kalau kemungkinan Momo keracunan serangga yang ia makan, obat dari Cherry juga kayaknya kurang legit, gatau juga ya.

Akhirnya aku say goodbye ke Momo, berharap saat aku pulang nanti Momo sudah sehat dan lahap lagi makannya.


7 Januari 2021

Sehari setelah sampai di Bali, aku sempat ketemu Gugum di Renon, lalu ke Republic of Soap untuk bikin parfum custom- sesuatu yang dari dulu aku pengen. Pas pulang ke rumah kakak, aku cek hp, ternyata ada pesan WA yang membuat duniaku runtuh seketika.


Sedih, aku sempat menangis dan tidur siang cukup lama. Masih sulit rasanya buat grasp reality. Baru dua bulang Momo tinggal bareng aku, jadi temenku, kenapa harus pergi begitu cepat. Aku salah apa? sampai Momo sakit dan gamau makan dan akhirnya mati. Kenapa aku harus grieving terus-terusan.

Tiap lihat kucing lain kayak... kok kucing lain hidupnya lama, Momo enggak. Kalau lihat kucing besar yang bulunya mirip Momo, duh Momo kalau besar pasti mirip kayak gini, dan lain sebagainya.

Masih sulit menerima kenyataan nanti sore aku pulang tanpa ada Momo di rumah.

Sampai ketemu, Momo :'

Terima kasih pernah jadi teman baikku 



Thursday, January 6, 2022

Am I There Yet?

Tadi pagi ada seorang teman saya yang di tengah-tengah chat menanyakan "lo masih grieving?". Saya bingung harus menjawab apa. Kalau yang dimaksud adalah menangis tersedu-sedu setiap malam, syukurnya sudah tidak. Tapi saya masih selalu ingat Bapak, ketika menyemprotkan parfum yang biasa beliau pakai atau terlintas hal-hal yang... wah gue pengen obrolin ini sama Bapak- tapi sudah tidak bisa.

Saya menemukan ilustrasi menarik tentang grieving, bahkan sebelum Bapak saya meninggal, saya sering melihatnya di internet:





Saya mencoba untuk meyakininya, bahwa karena saya masih melanjutkan hidup, saya terus bertumbuh, menjadi lebih besar dari grief yang ada dalam diri ini- walaupun ia akan terus menjadi bagian dalam diri saya.

Oke deh, saya mau bahas buku lain yang saya baca tahun lalu- yang sedikit banyak turut menemani perjalanan bertumbuh saya.

- Am I There Yet? by Mari Andrew




Saya udah lama pengen baca buku ini karena follow Mari Andrew di instagram, konten-kontennya selalu sederhana tapi menarik. Buku pertama Mari, dengan ilustrasinya yang khas saya kira 'hanya' membahas perjalanan tentang anak muda mencapai impian, atau semacam itu. Ketika akhirnya saya mulai membaca di kindle, saya 'kaget' ternyata Mari juga menulis buku ini setelah kehilangan ayahnya (lagi-lagi timing yang pas).

Ada part yang exactly menggambarkan bagaimana perasaan saya setelah ditinggal Bapak:

“I once heard an interview with an artist whose father died at the height of his creative success. He was really close with his dad, and spent the next few years in a tense combination of obligatory gratitude and overwhelming sadness.

When asked to describe loss, this guy said that it was like having the casino cashier gone. He compared everything that happened to him—any happiness, any difficulty, any mundanity—to a poker chip, saying his father would validate those experiences like a cashier, making them worth something. His father turned every one of the man’s moments into something meaningful just by listening to his stories.
After his father died, the man said he was sitting among piles and piles of worthless poker chips. He was dwelling in loss, running his fingers through it. ”- Mari Andrew.

Buku ini secara keseluruhan menceritakan tentang proses Mari Andrew menjadi dewasa baik dari topik percintaan, karir, dan pemaknaan hidup secara general. Ia menuturkannya dengan manis, lengkap dengan ilustrasinya yang membuat kita tersenyum sambil bilang "relate banget bestie"




Sunday, January 2, 2022

Buku-Buku yang Menemani Saya Grieving

Tadinya tulisan ini mau saya jadikan part 3 kelanjutan dari 2 tulisan saya kemarin. Tapi kayaknya daftar buku-buku dalam list ini lebih dari yang bisa saya muat dalam post ini, haha. Jadi saya putuskan part ini adalah bagian tersendiri, yang mungkin nanti ada part 2 nya juga. Haha lieur.

Kuliah psikologi membuat saya mengenal istilah grieving, ini berbeda dengan mourning atau berduka, ya memang kadang-kadang saya merasa Bahasa Indonesia masih kekurangan kosakata. Kalau baca dari sini sih, mourning adalah ekspresi dari grief. Jadi grief tuh gak selalu 'kasat mata' seperti menangis atau marah.  Emosi manusia memang kompleks, tidak terkecuali grieving. Di sini saya gak akan bahas 5 tahap-nya Kubler-Ross yang terkenal itu, hehe. Karena percayalah saya juga gak tahu saya sedang ada di tahap mana.

Saya bersyukur punya support system yang baik selepas Bapak saya berpulang. Keluarga inti, teman-teman, kolega, semuanya mendukung saya dengan berbagai cara. Namun ada kalanya saya sendiri, berkontemplasi dengan pikiran-pikiran saya sendiri. Beberapa cara saya lakukan agar tenggelam dalam perasaan sedih yang berlebih, salah satunya baca buku. Saya juga berada di lingkungan yang gemar membaca buku, tapi ada yang 'lucu', saya sering merasa orang-orang di sekitar saya meng-underestimate buku-buku yang berlabel self help. Mungkin karena sebagian besar teman saya juga memiliki latar belakang psikologi, sehingga menganggap buku semacam ini adalah pseudoscience dan terlalu pop. Duh apakah teman-teman saya terlalu fafifu wasweswos 😂

Namun, semakin dewasa saya semakin berani untuk 'bodo amat' dengan standar orang-orang. Toh, ini hidup saya, jika saya menikmati dan merasa terbantu dengan buku-buku 'receh' ini, gapapa dong, you do you, hidup aing kumaha aing, Lol

So, let's unapologetically reading self help books

Berikut buku-buku yang saya baca tahun 2021 dan saya suka kontennya, serta sedikit banyak membantu proses saya grieving.

- How to Stay Sane by Phillipa Perry




Hari itu Mama menelepon dan mengabari Bapak masuk rumah sakit tiba-tiba. Saya dan kedua kakak saya pun sepakat pulang ke rumah. Karena buru-buru, saya packing seadanya. Tahu perjalanan ke rumah dengan kereta api akan lumayan lama, saya sekenanya mengambil buku yang baru saya beli dengan niat menemani perjalanan saya pulang.

Ternyata saya menamatkan buku ini selama perjalanan itu, sudah lama saya tidak membaca satu buku sekali duduk. Seperti layaknya terbitan The School of Life yang lain, buku ini sangat 'ringan' untuk dibaca dengan bahasa yang mudah dipahami. Phillipa Perry- yang juga seorang psikoterapis menulis buku ini dengan praktikal, ada beberapa 'latihan' yang bisa kita coba untuk menjadi tetap waras- sebagaimana judulnya.

Ada empat bab dalam buku ini, salah satunya adalah Stress, lah gimana, mau waras kok malah disuruh stres.

"no stress at all means that the brain does not get any exercise. A brain is not unlike a muscle, in that the cliche 'use it or lose it' applies." -Phillipa Perry

Game apapun menjadi seru karena memiliki tingkat kesulitan tertentu, begitu pula hidup- akan makin exciting dengan kesulitan tantangannya, dan semoga kita terus semangat naik level. Dunia seperti tahu, saya menamatkan buku ini tepat 5 hari sebelum Bapak berpulang, seolah seperti menyiapkan saya menjalani 'level' baru.

- What I Know For Sure by Oprah Winfrey




Saya menghadiahi diri sendiri kindle ketika berulang tahun, karena sudah lama ngidam dan akhirnya tahun lalu ada budgetnya, salah satu benda duniawi yang saya kira dapat menjadi penawar kesedihan. Namun ternyata ada 'tugas' yang pasti harus saya selesaikan setelah beli kindle: beneran dipake buat baca buku 😂. Buku ini adalah buku pertama yang saya tamatkan di kindle.

Semua orang kayaknya tahu siapa Oprah Winfrey, beberapa mungkin tahu juga dia punya masa lalu yang kelam. Tidak mudah menjadi perempuan kulit hitam di ranah televisi AS saat itu. Buku ini memuat- seperti judulnya, hal-hal yang Oprah yakini selama ia hidup. Kalau lihat reviewnya di goodreads, ada yang kritik semacam "ya iya lah ngomong mah gampang, elu populer dan kaya raya". Mungkin ada benarnya, tapi saya sangat salut dengan approach Oprah di buku ini, alih-alih 'menyuruh' pembaca sukses sepertinya, dengan cara dia, Oprah seperti mempuk-puk punggung kita seraya bilang "gak papa kok kalau hidup kamu sekarang sulit".

Dari delapan bab yang ada, saya paling suka bab Resilience. Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Seperti saya, mungkin Anda juga perlu membaca kutipan Oprah di bab ini:

“I have always prided myself on my independence, my integrity, my support of others. But there’s a thin line between pride and ego. And I’ve learned that sometimes you have to step out of your ego to recognize the truth. So when life gets difficult, I’ve found that the best thing to do is ask myself a simple question: What is this here to teach me?” -Oprah Winfrey





Saturday, January 1, 2022

Bye 2021 (Part 2): Journaling Lagi

Ini adalah gratitude list lanjutan dari Part 1

Beberapa hal dari list ini mungkin terkesan sangat mundane, but who cares, right? 

Life is always interesting if you appreciate the small things

3. Journaling (lagi)

Jujur, dulu kalo liat konten di sosial media tetang journaling atau bullet journal pasti membuat saya jiper. Karena kok kayaknya niat banget, artsy banget, rapih banget- sesuatu yang bukan saya banget. Namun akhirnya saya tergerak untuk journaling lagi saat awal pandemi Maret 2020, dan sejak saat itu rutin journaling.

contoh journal yang bikin saya jiper

Isinya apa? terserah saya! ini hal paling menarik dari journaling a la saya, satu-satunya aturan adalah gak ada aturan. Gak juga deng, secara garis besar saya mengikuti prinsip bullet journal nya Ryder Caroll, tapi gak semua. 


Hal yang terpenting adalah index dan nomor halaman, karena journal atau buku yang saya gunakan adalah buku biasa, saya memberi nomor halaman secara manual- hal ini biasa saya lakukan kalo lagi boring dan butuh sesuatu yang repetitif, jadi gak harus selesai memberi nomor halaman sebelum digunakan. Kalau ada yg gak sengaja kelewat, tinggal saya beri huruf di belakang nomor halaman yang kelewat, haha, Bagi saya ini penting karena index membuat saya cepat mencari lagi topik atau (minimal) bulan.

Lalu apa isi jurnal saya? beneran terserah, kadang to do list, atau saya gunakan sebagai diary, kalau sedang travelling, saya akan menempel kertas-kertas tentang perjalanan saya, misalnya tiket, stiker kemasan jajanan yang saya beli, bahkan struk restoran enak. Kalau sedang niat (yang mana jarang terjadi) saya akan menghias halaman jurnal dengan stiker, doodling atau washi tape.

Mencoba beberapa buku tulis, saya juga jadi menemukan jurnal ideal saya: blank pages, hard cover, ukuran A5 atau B6, kertas cukup tebal agar gak berbayang saat saya nulis, jilid jahit benang (pokoknya bukan spiral), serta ada pita pembatas (siapa tahu ada yang mau ngasih saya kado jurnal tahun ini, Lol PD amat).

Kapan menulis jurnalnya? Idealnya setiap hari (tapi again, saya adalah manusia yang jauh dari kata ideal) jadi yaaa kapan saja. Ada kalanya sehari saya bisa menulis berhalaman-halaman, kadang satu kalimat saja, kadang tidak sama sekali, gak masalah! saya selalu bisa kembali kapan saja.

Manfaat apa yang saya rasakan? yang paling jelas, saya jadi punya wadah untuk menampung isi pikiran-pikiran saya. Mungkin bisa diibaratkan jika overthinking itu seperti ember yang luber, saya jadi punya ember-ember cadangan untuk menampung isi pikiran saya, dan mengorganisirnya. Proses menggores pulpen di kertas juga jadi momen reflektif yang menyenangkan, kadang kita bertanya dan menemukan sendiri jawabannya, namun selama ini tidak ketemu karena belum cukup terorganisir. 

Yang paling 'lucu' adalah membaca tulisan-tulisan saya di masa lampau, kadang malu kadang sedih kadang juga bangga saya pernah bisa melewati masa-masa sulit, sering juga bersyukur banyak momen bahagia yang saya abadikan di jurnal.

Yuk 2022 mulai (atau ngejurnal) :)

Lanjut ke part 3 gak ya...


Bye 2021 (Part 1)

Tahun lalu bukanlah tahun yang mudah untuk saya. Hilightnya adalah, ya Bapak saya berpulang 15 Juni 2021, hanya beberapa hari sebelum saya berulang tahun yang ke 27. Sesusah-susahnya saya berusaha menemukan 'silver lining', toh hidup ini harus terus berjalan buat saya. Dengan demikian, saat memutuskan untuk ikut challenge KLIP lagi tahun ini, saya mencoba mengorek-korek lagi ke dalam otak saya, hal-hal apa yang saya syukuri tahun ini, supaya saya bisa baca lagi sewaktu-waktu. Sebagai pengingat bahwa tahun ini tidak berlalu begitu saja. Btw listnya ngasal seingetnya saya aja (not in any particular order), hehe

1. Jaksel Lyfe

Akhir tahun 2020 saya pindah kosan dari BSD ke Radio Dalam, karena saat itu ngantor di daerah Kebayoran Baru. Sebelumnya, kantor dan area pergaulan saya seputaran Jakarta Pusat saja, sebetulnya Jaksel ini lebih menarik karena lebih berasa neighborhood nya instead of business complex (nah loh kan bahasanya aja udah Jaksel banget, wkwk). Hmm kayaknya menarik ya kapan-kapan nulis soal code-switching bahasa ini.

Oke lanjut fokus, Radio Dalam ini nyaman karena kemana-mana deket. Sangat deket dari PIM (haha) jalan kaki ke Gandaria City juga bisa, ke Kemang atau Cipete juga masih bisa dijangkau dengan motor, Barito, Blok M juga dekat, kalau mau agak jauh bisa naik MRT. Pantes banyak yang suka tinggal di Jaksel ya, banyak cafe buat ngopi-ngopi cantik juga (walau Giyanti yang di Jakpus masih the best menurut saya).

2. Explore parfum lokal

Kayaknya Topik ini juga cukup seru kalau dibikin satu blog post sendiri (mulai insecure kehabisan topik buat KLIP, haha). Biasanya tiap tahun saya sisihin budget buat beli satu discovery kit parfum brand impian (yang mana harganya lumayan ya). Nah tahun ini budget itu gue alihkan untuk explore (masih dicovery kit parfum lokal.

perfume is the way my olfactory senses take a peek of how upper class life feels like

Beberapa brand parfum lokal yang gue suka adalah: Oullu, Mine, House of Medici, dan Fetch. Gue lumayan bangga dengan perkembangan pesat industri ini di Indonesia. Karena banyak bahan baku parfum tuh diekspor dari negara kita, semoga makin keren yah skena ini. Gue juga pengen banget belajar perfumery, one day, di Grasse #aamiin #manifesting.



Berlanjut ke part 2 ya, hehe