Sunday, July 14, 2019

Peak of My Singlehood

Dilihat dari judulnya, apakah ini adalah tulisan yang sedih? Bisa jadi

Melajang sering kali di diasosiasikan dengan dua hal yaitu: kebebasan dan kesepian. Dalam tulisan kali ini saya akan lebih banyak membahas tentang kebebasan. Jujur saya takut banget saat ulang tahun ke-25. Takut mengalami apa yang namanya quarter Life Crisis. Tapi ternyata Alhamdulillah saya sangat happy, karena saya menyadari bahwa di usia ini dengan keadaan jomblo (hahaha), saya mengalami kebebasan yang kayaknya berada pada puncaknya.

Saya sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri, bahkan beberapa keputusan dalam hidup sifatnya hanya saya konsultasikan kepada orang tua dan kakak kakak, bukan minta izin.

Keadaan finansial pun mengizinkan saya untuk melakukan apa yang disarankan oleh teman-teman saya yang sudah menikah: "puas-puasin mumpung masih single".

Saya bahkan pernah menulis tentang apa yang bisa kita lakukan waktu masih single di post ini.

Tapi kadang saya sadar bahwa apa-apa yang berlebihan itu tidak baik. Maka di umur ini juga saya harus sudah tahu apa sih sebenarnya value dalam hidup saya. Pada akhirnya value inilah yang membatasi saya untuk tidak melakukan hal-hal tertentu, yang bertentangan dengan prinsip hidup.

Kebebasan ini juga membuat ilusi untuk tidak buru-buru melakukan hal-hal yang penting. Misalnya dalam hal finansial, kita bebas spending sebanyak-banyaknya tapi lupa menabung, karena memang belum urgent. Padahal angka lebih baiknya kalau kita memulai sedini mungkin. Enggak ada salahnya kan punya rumah sendiri waktu masih single 😉.

Jebakan yang lain adalah membuang-buang waktu untuk hal yang kurang penting. Misalnya terlalu banyakbersenang-senang sama teman-teman, alih-alih melakukan hal yang bermanfaat kayak belajar atau berolahraga, beribadah dan lain-lain.

Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan mereka yang tidak lagi single, bukan pula 'menghibur' diri sendiri atas ejekan masyarakat. Hanya sebagai pengingat bahwa setiap fase hidup ada 'perks' nya masing-masing.

So, seize the day!

Wednesday, July 10, 2019

Menghitung Hal yang Salah

Dini hari ini, saya melihat akun  Instagram Perpustakaan Nasional memposting statistik yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki jumlah perpustakaan terbanyak kedua di dunia. Hal ini membuat saya geregetan dan sekaligus marah tapi tetep pengen ketawa karena nyatanya statistik yang lain menunjukkan bahwa minat baca Indonesia berada pada peringkat kedua dari bawah

Ini contoh kecil dari kesalahan yang sering saya temui pada kerja pemerintah atau pembangunan: mengkuantifikasi hal yang keliru.

Jika teman-teman akrab dengan kerja pemerintah salah satu tolak ukur yang sering mereka gunakan adalah penyerapan anggaran, artinya sejauh mana mereka menghabiskan uang yang sudah dibagi-bagikan oleh Ibu Sri Mulyani kepada tiap-tiap kementerian atau lembaga untuk program-program mereka, dengan asumsi ketika uangnya habis berarti programnya jalan.

Lalu bayangkan Kementerian ini adalah seorang anak atau ibu rumah tangga yang memiliki jatah uang bulanan dan tugas mereka hanya menghabiskan uang itu.

Lalu bagaimana menjamin bahwa uang itu tepat sasaran?

Sejak mengenalnya, manusia nampak terobsesi dengan angka, karena ini dianggap hal paling universal untuk menggambarkan sesuatu. Makanan yang enak bagi orang Turki dan orang Jepang mungkin berbeda, tapi kain dengan luas 1 x 1 m akan sama luasnya bagi mereka.

Tapi obsesi ini kadang salah arah, kita mudah terbuai dengan angka-angka yang dibuat oleh penguasa, atau bahkan penjual yang ingin mempromosikan produknya.

Lain kali, ketika melihat angka, kita harus skeptis, bagaimana proses di baliknya hingga angka-angka itu lahir.