Thursday, March 28, 2019

Alexandria

Nak, dulu banyak orang berpesan pada Ibu. Bahwa tugas Ibu adalah di rumah memasakkan makanan terlezat untuk suami dan anak-anak Ibu. Beranjak dewasa Ibu bingung, karena suami dan anak-anak itu tidak kunjung hadir dalam hidup Ibu.

Ibu marah dan sedih, lalu apa sebenarnya yang bisa Ibu lakukan?. Ibu bekerja tidak kenal lelah, Ibu yakin semoga kerja Ibu bermanfaat bagi banyak saudara kita di luar sana. Tapi diam-diam Ibu menanti. Menanti suatu hari bisa bersenda gurau dengan keluarga kecil kita di meja makan terhangat di dunia ini.

Lalu Ibu bertemu Ayahmu. Seseorang yang selalu sabar mendengarkan saat Ibu marah atau sedih. Kami menikah, Ibu bahagia sekali hari itu. Ratusan orang berkumpul menyelamati kami. Ibu makin tidak sabar bertemu kamu, anak-anak yang konon menjadi fitrah untuk Ibu besarkan.

Sepuluh tahun berlalu, kamu belum juga hadir. Belum ada tawa saat sore hari di belakang rumah kita. Belum ada tangismu di tengah malam yang membangunkan kami dari tidur paling pulas.

Orang-orang mulai menasihati Ibu lagi. Menyuruh Ibu berhenti bekerja, meminum ramuan ini itu, bahkan menyuruh Ayahmu menikah lagi, dengan perempuan yang barangkali bisa menghadirkanmu di dunia ini, yang lebih sempurna daripada Ibu.

Yang mereka tidak tahu nak, berapa jarum suntik yang telah Ibu rasakan, betapa dingin meja operasi yang Ibu lewati. Ibu terus berdoa, agar suatu saat bisa berjumpa denganmu, walau tulang ini barangkali sudah tidak kuat menggendong tubuhmu kelak.

Hari ini Ibu sangat bahagia, jantung Ibu rasanya ingin keluar dari rongganya. Pertama kali kami mendengar tangisanmu yang sangat kencang. Matamu yang teduh dan sangat cantik.

Ibu mendekapmu erat-erat, memastikan dunia ini aman untukmu. Alexandria, kamu mungkin tidak lahir dari rahim Ibu, tapi kamu datang dari hati Ibu.

Peluk sayang,
Ibu, Ayah dan Bunda

Wednesday, March 6, 2019

Being Present

Suatu hari di sebuah percakapan whatsapp:



Saat itu entah kenapa saya mengalami kebosanan yang teramat sangat, dan (mungkin) ketakutan akan usia 25 yang segera datang di tengah tahun ini.Quarter life crisis kata mereka.

Kemudian teman saya mengingtakan tentang satu hal ini, hidup di saat ini, sekarang. Kita bisa hidup di masa lalu: menyesali hal-hal yang sudah terjadi atau terjebak pada kejayaan masa lalu. Atau kita hidup di masa depan: mengkhawatirkan dan menanti-nanti momen di masa depan- yang belum tentu pasti kejadian.

Memang hidup menjadi indah, dan otak manusia cukup canggih untuk merekam memori menyenangkan di masa lalu dan memproyeksikan visi-visi di masa depan. Tapi kita kerap lupa hidup di saat ini.

Ketika saya coba menerapkan: fokus pada apa yang bisa dilakukan saat ini, saya langsung melihat tumpukan kantong plastik yang berantakan di sudut kamar dan langsung terpanggil untuk membereskannya.

Mungkin saya tidak akan menyelamatkan dunia, tapi saya bisa membereskan kamar saya. One thing at a time.

Dan, seperti kata Mbak Maudy Ayunda: dreams, when broken down into concrete goals, become achievable plans.

So, inhale, exhale, one thing at a time :)