Almarhum Mbah Kakung saya sering menyanyikan tembang Jawa sebagai pengantar tidur.
Salah satu yang paling melekat adalah Lir Ilir, terutama bagian:
mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalanganane…
Saya kerap membayangkan Jawa pada masa tembang itu lahir: malam yang sunyi dan gelap, tanpa lampu, tanpa listrik. Namun ketika bulan purnama datang, gelap itu sedikit tersibak. Dunia menjadi cukup terang untuk berjalan, bekerja, berdoa—melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan saat malam sepenuhnya menelan segalanya.
Kelak saya belajar bahwa Lir Ilir konon digubah oleh Sunan Kalijaga, sebagai perumpamaan ajakan untuk beribadah, bahkan ketika keadaan sempit. Bahwa ada saat-saat tertentu di mana hidup memberi cahaya ekstra—dan kita diminta memanfaatkannya.
Jika ada satu hal yang paling saya syukuri tahun ini, itu adalah kelapangan.
Dan kelapangan ini, saya sadari, jauh melampaui sekadar kebebasan.
Sembilan bulan awal tahun ini saya merampungkan studi di London, membuat saya mengerti inti dari setahun ini:
keleluasaan untuk melakukan banyak hal—dan, yang lebih jarang, keleluasaan untuk berpikir.
Kalau dipikir-pikir, saya benar-benar “dibayar” oleh pemerintah Inggris untuk hidup dan berpikir. Sebuah keadaan yang, dalam dunia yang serba produktif dan terburu-buru, terasa hampir utopis. Stipend itu cukup untuk membuat bersyukur, namun tidak berlebih sampai lupa diri. Ada batas yang justru menjaga kewarasan. Hehe.
Kelapangan ternyata bukan hanya soal waktu dan sumber daya, tetapi juga support system. London membuka pintu ke perpustakaan, galeri, dan museum—ruang-ruang sunyi tempat saya belajar dengan ritme saya sendiri.
Ambisi untuk mengikuti konferensi internasional membawa saya ke Wina, sekaligus menghadirkan visa Schengen pertama. Dari sana saya tersadar: saya ternyata punya rumah-rumah kecil di berbagai sudut Eropa.
Esa di Wina.
Pingkan di Ghent.
Tika di Berlin.
Ollie di Manchester.
Dan juga teman-teman perjalanan yang membuat langkah-langkah itu lebih hangat dan bermakna: Rino, Nisa, Lina, Titis.
Dan tetap saja, di sela-sela semua itu, ada suara kecil yang sering muncul tanpa diundang.
Tentang usia. Tentang pencapaian. Tentang daftar kepemilikan yang terasa kosong.
Di umur segini, saya kadang masih merasa belum punya apa-apa yang bisa dipamerkan: rumah, tabungan mapan, atau penanda-penanda dewasa yang lazim dirayakan. Ada hari-hari ketika kelapangan ini terasa seperti jeda yang terlalu panjang, bukan kemajuan.
Apa yang dulu saya kira sebagai kekurangan—uang yang pas-pasan, hidup yang sederhana, rencana karir yang tak selalu pasti—ternyata justru adalah kelapangan.
Ruang untuk bergerak.
Ruang untuk menjelajah dunia.
Dan pada akhirnya, ruang untuk berjalan pulang ke dalam diri.
mumpung padhang rembulane.
No comments:
Post a Comment