Thursday, October 5, 2017

Psychological Cost

sumber gambar
Beberapa hari yang lalu, sebagian teman sekantor saya terlambat datang karena mereka berangkat ke kantor menggunakan KRL dan KRL pada hari itu anjlok di stasiun Manggarai. Praktis, hampir semua jalur KRL di Jabodetabek lumpuh total. Berbagai foto dan update berita disiarkan oleh teman-teman saya di berbagai platform sosial media.

Hari itu, saya tidak terkena dampak peristiwa di atas. Saya tinggal 5 menit jalan kaki jauhnya dari kantor. hal ini memberikan sederet kemewahan bagi saya, termasuk ngulet di kasur alih-alih dempet-dempetan di kereta.

Saya menyebutnya psychological cost

Saya belum riset sih kalau terminologi ini beneran ada atau enggak. Singkatnya gini, Biaya kos saya di Depok setengah biaya kos saya di Jakarta. Jika ditambah biaya transportasi pun masih lebih murah kalau saya milih ngekos di Depok. nah tapi dengan kasus tadi, tentu saya akan lebih capek kalau menjadi penglaju Depok-Jakarta. Biaya yang saya keluarkan untuk membuat saya less capek ini adalah psychological cost.

Sotoy benar ya

Nah, tapi less capek ini bukan berarti serta merta lebih sejahtera ya. karena ada banyak variabel lain seperti kualitas hunian saya yang lebih buruk saat ngekos di Jakarta, ruang publik yang kurang asri dan lain pelbagainya.

Intinya, psychological cost ini menjawab berbagai pertanyaan tentang, misalnya: "milih kerja gaji gede tapi gak seneng, atau gaji kecil tapi seneng" atau "milih nikah sama yang tajir tapi gak nyambung diajak ngobrol atau yang klop tapi proletar" haha. Psychological cost memberi perspektif baru dalam memilih dan tidak melulu mengutamakan benefit berbentuk uang.

Namun lagi-lagi masalahnya adalah, kesejahteraan terlalu sulit diukur secara mutlak dan terlalu banyak variabel lain. Dalam kasus milih pekerjaan misalnya, bagaimana jika pekerjaan gaji besar namun tidak kita suka itu justru lebih mengembangkan diri kita sedangkan pekerjaan yang kita suka malah membuat kita terjebak dalam zona nyaman.

Ah, memang sukar mengukur kebahagiaan, buat apa pula? Gimana menurut Kamu?


Bahagia mah bahagia aja keles,

Binski

*) ini artikel ngawur yang sama sekali ndak ilmiah, nggak usah serius serius lah :p

Wednesday, October 4, 2017

Perpustakaan Maya

Bukan, nama saya bukan Maya.

sumber gambar
Dari dulu, saya kepengen banget punya perpustakaan. Kenapa? mungkin karena sejak remaja saya suka banget baca tapi saya tinggal di daerah yang sangat minim akses untuk mendapatkan buku. Dan mungkin karena kelangkaan pilihan bacaan inilah saya juga jadi sangat menikmati membaca buku yang saya sukai.

Salah satu penulis yang membuat saya jadi hobi banget baca adalah Sidney Sheldon, saya pertama menemukan karya nya yang berjudul Doomsday Conspiracy, saya akhirnya kepo dan akhirnya menemukan fakta bahwa Mbah Sheldon saat itu sudah meninggal (tahun 2007). saya pun akhirnya terobsesi untuk membaca semua buku karyanya. Ini merupakan perjuangan panjang, karena tidak ada toko buku yang cukup decent di kota saya tercinta.

Akhirnya dengan berbagai cara, saya berusaha mencari semua novel Sidney Sheldon dengan cara meminjam di perpustakaan sekolah dan perpustakaan daerah, membeli online (10 tahun lalu saya sudah belanja online, wuouw) dan langsung ke toko buku kalau sedang berkunjung ke kota besar. saya bahkan sempat membuat bucket list novel Sidney Sheldo  di blog ini. Hingga saat ini saya udah kelar baca semuanya, kecuali 1 judul, yang Memories of Midnight kalo gak salah.

Hmm, kenapa malah jadi bahas Sidney sheldon ya...

Waktu berjalan, mimpi untuk membuat perpustakaan masih ada dalam benak saya, bahwa distribusi akses pada bacaan belum adil selalu mengusik saya pada kenyataan tingkat literasi di Indonesia yang demikian rendah. Saya salut banget sama temen saya Hastin, yang berhasil mendirikan perpustakaan di Kalimantan Utara. Oia, Hastin juga sedang menghimpun dana untuk programnya di sini. Sekarang, POS Indonesia juga menyediakan akses gratis untuk mengirim buku ke daerah setiap tanggal 17.

Saat kuliah, saya sadar bahwa buku kini hadir pada bentuk elektronik atau e book. Nah karena buku teks untuk kuliah saya dulu mahal- mahal, terkadang saya mengunduh buku elektronik secara ilegal.  Nah teman-teman di angkatan saya juga sering berbagi pakai buku ini lewat media google drive.

Syahdan, saya dan dua teman saya entah gimana ceritanya memutuskan untuk menyimpan buku-buku elektronik koleksi kita di google drive, supaya aman dari segala bencana duniawi. Trus, kalo cuma disimpen ya kurang berfaedah dong, akhirnya dengan kesaktian bit elye, saya membuat bit.ly/bukubukuabg sebagai perpustakaan maya kami. Sila diakses, gratis

Hidup sosialisme!,

Binski

Tuesday, October 3, 2017

8 Cara Menjadi Jomblo yang Baik, Nomor 5 Bakal Bikin Kamu Kaget

Betapa clickbait judulnya yes. Haha

Di tengah badai video bridestory Raisa Hamish dan iklan Meikarta sekaligus lagu Akad nya Payung Teduh, kadang menjadi jomblo sangat rentan di budaya ketimuran post modern ini. Dari mulai Ridwan Kamil hingga Raditya Dika masih aja menjadikan jomblo bahan olokan dan lelucon, heu. Nah, tanpa mengurangi segala hormat, saya ingin merangkum beberapa cara yang sesungguhnya sangat bisa dilakukan ketika kita jomblo. Kita? lu aja kali Bin!

1. Berbakti kepada orang tua

Sungguh sangat ketimuran dan NKRI yes, tapi bener loh, setelah saya lulus kuliah dan bekerja dan makin jarang pulang saya merasa orang tua makin butuh anak-anaknya (baca: saya) dan sayapun butuh mereka untuk bayarin kosan dan ngasih duit di tanggal tua.

Saya sadar saya termasuk beruntung masih bisa berinteraksi dengan kedua orang tua saya karena mereka masih sehat wal afiat. Dan karena anak terakhir, saya kadang juga merasa mereka sudah sangat tua, use your time wisely Pulang kampunglah selagi bisa. Beberapa dari kita yang masih bergaji UMR dan harga Ice latte kayaknya naik melulu, belum bisa ngasih banyak ke ortu, banyak dalam artian materi atau duwit, tapi bisalah kita kasih kado kecil buat mereka, misalnya jilbab buat mama atau... enaknya ngasih apa ya ke Bapak? Ada ide?

2. Merawat Diri

Ini istilahnya kok khas ukhti2 banget ya #eh. Secara evolusioner, kita sedang dalam masa mencari pasangan demi melestarikan keturunan. Maka layaknya burung merak jantan yang mengibaskan ekornya, kita butuh terlihat sehat dan menarik.

Siapa yang punya waktu untuk melakukan 10 steps Korean skincare kan? nah karena jomblo punya banyak waktu luang, kita bisa mecobanya selagi bisa. Merawat diri bukan cuma sekadar biar laku sih, lebih sebagai bentuk apreasiasi terhadap diri supaya kita makin love yourself kalo kata Justin Bieber mah.Selain itu, untuk berkembang biak, kita butuh gen yang sehat terutama untuk perempuan yang punya beban eh amanah hamil dan menyusui, maka makan makanan sehat dan olahraga lah. Cih, ngomong sih gampang

3. Hidup cuma sekali, YOLO

Membaca frasa di atas kadang membuat kita mikirin dua hal, hidup seliar-liarnya atau hidup sebaik-baiknya. Nah kadang ada kan hal-hal terliar yang pengen kita lakukan, yang kayaknya entar kalo udah nikah gak bisa dilakukan, atau bahasa solihahnya harus minta ijin suami, pret.

Kayak ngecat rambut jadi silver, solo travel ke Papua, skydiving, atau begadang sama temen sampe pagi, ehem ngapain yha begadangnya. Intinya, mumpung, mumpung nih lakukanlah apa yang ingin kalyan lakukan, tapi tetap mindful ya, jangan sampai membahayakan diri, kan kalian sudah dewasa :)

4. Save (and Invest!)

Tahukah Anda kalau biaya sekolah anak di Jakarta lebih mahal daripada kuliah di PTN? Tahukah Anda bahwa millenial tidak mungkin punya rumah di Jakarta? aku ingin pindah ke Meikarta. ya intinya masa depan ya jelas butuh uang, dan mumpung, mumpung nih ya, kita belum punya banyak tanggungan, maka sempatkanlah untuk menabung dan investasi.

Sebatang lipstick lime crime memang menggoda iman, namun alangkah baiknya kalau kita coba mulai investasi. Saya tertarik untuk nyobain di indves.com tapi belom nyoba haha, atau nabung emas pegadaian huhu #wacana. Tapi saya udah mulai nabung, sesuatu yang sangat sulit untuk saya lakukan sejak kecil,
hmm #crossfingers

izinkan ukhti Binar mengutip Salim A. Fillah "Buatlah proyeksi nafkah secara ilmiah & executable, JANGAN masukkan pertolongan Allah dlm hitungan, tapi siaplah dgn kejutanNya;)"

sungguh wadidaw

5. LEARN PARENTING

nah, apakah beneran bikin kaget? sebagai mahasiswi Psikologi gadungan saya selalu dikelilingi dengan pop nya dunia parenting, dari mulai Montessori lah golden age nya Freud lah endesbra endesbre. Dan karena saya kepengen punya anak, maka saya sadar saya harus mempersiapkannya. Kata bapak saya "if you fail to prepare, you are preparing to fail", suer beneran belio pernah ngomong gini, walaupun konteksnya memang bukan parenting.

Gak ada metode parenting yang sempurna, oleh karenanya kita harus belajar dari berbagai sumber dan mengambil intisari yang pas dengan value kita, sungguh sotoy ya Binar. ya gitulah, intinya kita harus belajar bertanggung jawab kalau nantinya kita membesarkan seorang umat manusia yang harus dipenuhi hak-haknya, kayak tagline UNFPA

"delivering a world where every pregnancy is wanted, every childbirth is safe and every young person's potential is fulfilled"

wadidaw bingits

 6. Belajar

Mungkin kamu sudah terputus ikatannya dengan lembaga pendidikan formal, tapi belajar adalah tugas kita seumur hidup. Belajar bahasa baru, belajar masak, merajut, coding apakek BELAJAR NYETIR, OMG cewek- cewek di Saudi aja udah boleh nyetir tapi saya belum bisa nyetir, hiks.

learn to survive by your own self, you will save your family later. Hehe

7. Menapaki anak tangga karir

Kamu, masih punya waktu untuk lembur sampe jam 10 malem, masih bisa ngerjain tugas di weekend, masih bebas dinas ke luar negeri/ kota. dan lain sebagainya

maksimalkan potensi Anda untuk menjadi sekrup kapitalis sepenuhnya, selagi ada waktu dan tenaga.

8. Berkumpul dengan teman-teman

saya jadi ngeh kenapa kalau cewek mau nikah biasanya ngadain bridal shower, karena mungkin itu kali terakhir bisa ngumpul dengan teman teman sembari mendiskusikan kegagalan sosialisme di Eropa Timur, hiks. maka dari itu, pereratlah tali silaturahmi dengan handai taulan kita. Sekali lagi, selagi masih ada waktu.

hehehe, intinya tulisan ini sih sebagai pengingat bagi diri saya sendiri supaya gak sedih sedih amat jadi jombelo. Segalanya adalah, mensyukuri dan memanfaatkan waktu, tenaga dan biaya sebaik mungkin

salam wadimor, eh wadidaw,

Binski

Saturday, September 23, 2017

Hijrah? Ke mana?

Beberapa tahun lalu saya dikagetkan oleh seorang figur publik yang 'tiba-tiba' lepas jilbab. Saya beri tanda kutip karena saya yakin bahwa proses itu tidak mungkin tiba-tiba, dia mungkin menjalani berbagai kegalauan yang tidak tampak dari kejauhan.

Kakak saya kemarin berkelakar tentang seorang temannya yang 'hijrah'. Penampilannya berubah drastis katanya, pakai celana cingkrang dan menumbuhkan jenggot yang mungkin tidak cocok dengan feature wajah Asia nya. Kalau perempuan, yang hijrah ya berjilbab panjang menjulur hingga dada, memakai pakaian yang lebih longgar hingga aurat tertutup sesempurna mungkin.

Saya tidak akan menyinyiri siapapun.

Saya justru ingat waktu saya jadi volunteer Jakarta Fashion Week 2014 lampau. Saya berdesak-desakan di mushola mall untuk sholat maghrib, fi tempat wudhu saya bertemu dengan seorang model yang sering saya lihat di majalah. Saya bahkan melirik ke name tag nya untuk memastikan bahwa itu dia. Mungkin saya terlalu tinggi hati untuk tidak syok bahwa sholat juga kewajiban Mbak model itu. Hal yang sama juga saya amati ketika berkunjung ke kost salah satu sahabat saya, banyak sekali doa dan dzikir yang ia tulis dan tempel di dinding, ketika saya heran melihatnya, dia cuma berkata "Iya soalnya aku belum hapal". Dan ya, iya dia belum berjilbab.

Hati saya mengecil, saya takut kalau kualitas ibadah saya kalah dengan saudari-saudari saya yang belum menutup auratnya dengan sempurna, yah saya pun belum.

Mari memperbaiki, dari dalam dan luar, dan berhenti menghakimi saudara/i kita. Karena sesungguhnya kita sedang hijrah ke tujuan yang sama.

#selfreminder

Sunday, August 13, 2017

Taken For Granted

Kemarin malam, pilek yang sudah dua hari saya derita makin menjadi-jadi. Saya pun sudah dua hari gak masuk kantor. Akhirnya, mau tidak mau, saya harus ke dokter.

Saya punya asuransi Cigna dari kantor. Saya lihat di websitenya bahwa asuransi ini bekerja sama dengan beberapa rumah sakit di Jakarta, salah satunya Rumah Sakit Medistra. Saya pun menelepon untuk memastikan bahwa keperluan medis saya benar-benar bisa ditanggung, sekaligus reservasi dokter umum.
Di bagian pendaftaran, ternyata kartu saya ditolak, karena kartu saya terdaftar di Cigna Global, bukan Cigna Indonesia. Walhasil saya harus mendaftar dan membayar dengan biaya sendiri. Nantinya memang bisa direimburse, tapi kan ribet ya. Haha
Setelah cek dengan dokter, diberi resep, sampailah saya ke kasir. Ternyata tagihan cek dokter umum dan obat sekaligus administrasi tadi sampai 862.500 rupiah! Waduh! mahal gilak. Untung saya masih punya orangtua untuk bayarin ongkos berobat itu.

taken for granted, belakangan frasa tersebut menjadi favorit saya. Entah apa padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, saya belum menemukannya.

Karena belakangan, saya sadar bahwa banyak sekali hal-hal dalam hidup ini yang saya take for granted. Kasus berobat tadi misalnya, waktu kecil biaya kesehatan saya sekeluarga ditanggung perusahaan tempat Bapak saya bekerja, kalau sakit tinggal ke dokter, ambil obat di apotek, pulang! gak mikir blas!.

Saya lulus pendidikan sarjana atas biaya orangtua, memiliki tempat tinggal dengan akses listrik, air dan pendingin ruangan yang layak, dan lain sebagainya. Semua itu saya anggap normal-normal saja saya terima.

Padahal, bisa jadi saya adalah sekian kecil persen warga dunia yang menikmati privilese ini.

Belakangan ini, saya takut, atas segala nikmat yang saya peroleh dalam hidup ini. Saya takut menjadi ignoran.

Kemudian ketus pada para gelandangan, ya mereka gak mau kerja sih!

Jauhkanlah hamba dari sikap demikian, ya Tuhan

Saturday, May 27, 2017

Air

disclaimer: ini adalah celotehan pribadi saya dan tidak mewakili organisasi manapun

Pernah dengar cerita tentang sumur Raumah? Pada masa kepemimpinan Rasulullah SAW di Madinah ada sebuah sumur yang dimiliki oleh seorang Yahudi. Ia memberikan tarif yang sangat mahal bagi siapapun yang mengambil air di sumur tersebut. Melihat masalah tersebut, Utsman bin Affan berinisiatif untuk membeli sumur tersebut. Si pemilik pun menolak. Dengan negosiasi yang sengit, Utsman berhasil memiliki setengah hak milik sumur tersebut.
Bagaimana konsekuensinya? Utsman memiliki hak guna sumur tersebut selama sehari, dan Si Pemilik Yahudi pada hari yang lain. Tak dinyana, Utsman mewakafkan sumur tersebut atau menggratiskan orang-orang untuk mengambil air di sumurnya pada hari gilirannya, orang-orang pun berbondong-bondong datang untuk mengambil air. Pada hari giliran si Yahudi tiba, sumur pun tidak laku, karena kebutuhan air untuk hari itu sudah disiapkan kemarin.

Si Yahudi menyerah dan akhirnya menjual sumur raumah dengan penuh kepada Utsman. Beratus tahun berlanjut dan ternyata sumur Raumah ini masih memberikan manfaat bagi sekitarnya. Dimulai dari perkebunan, hingga usaha hotel, kini pun masih terdapat rekening atas nama Utsman bin Affan di Bank Arab Saudi.

Air bersih, adalah komponen dari hak asasi manusia. Pada SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, akses air bersih juga menjadi tujuan nomer 6.

Tentu, Utsman telah mengamalkan ini seribu tahun lebih sebelum dokumen internasional ini resmi dikumandangkan di ranah internasional.

Kini, kita taking for granted untuk membeli air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Saya ingat betul bahwa sumur rumah tetangga saya tidak layak untuk diminum, sehingga untuk air minum dan memasak ia meminta ke rumah tetangganya yang lain, ini karena hingga hari ini pipa PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) belum mengalir ke kampung saya.

Sehari-hari, darimana sumber air minum Anda? mungkin berasal dari botol plastik dengan label Aqua atau merk lain jika Anda tinggal di kota besar. Dan tidak perlu saya beritahu bahwa air tersebut menjadi hak jual korporasi asing.

Maka tidak lagi lucu ketika teman saya berceloteh, mungkin sebentar lagi udara bersih pun kita akan beli. Maka mengapa kita masih mencemooh ibu-ibu yang menyemen kakinya di depan istana negara, hanya karena ingin mempertahankan sumber air bersih di desanya.

Jangan lupa minum air ya! Stay hydrated

Monday, May 1, 2017

Memaknai Ulang Keikhlasan


خير الناس أنفعهم للناس (khoirunnas anfa'uhum linnas)

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain"

Saya sering sekali mendengar kutipan di atas. Dan kurang lebih telah menjadi motto favorit ketika saya sedang sok alim, hehehe.

Sepertinya bukan hanya saya, saya tumbuh dan hingga kini beraktivitas di sekitar manusia- manusia yang ingin berfaedah bagi sesamanya. Siapa sih yang enggak?

Walaupun dulu saya percaya homo homini lupus, tapi kiranya saya sekarang saya sudah bertobat dan ingin menjadi lebih altruist. Cie.

Bahkan setidaknya, hingga kini saya masih istiqomah bekerja di sektor sosial, bukan privat. Namun kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan dalam benak saya, apakah yang saya lakukan ini benar? tepat? efektif?

Apakah keikhlasan menjadi faktor utama ketika kita ingin menolong orang lain?. Apakah memang tidak ada indikator yang lebih 'profan' dalam hal kebaikan?.

Saya jadi ingat anekdot keikhlasan. Yaitu seperti saat kita, maaf, BAB. Setelah itu tidak usah dilihat. Hal ini tentu menjadi bahaya ketika, misalnya, kita mendonasikan sejumlah uang kepada suatu lembaga dan kemudian karena lembaga tersebut tidak diaudit secara berkala, terjadi penyelewengan oleh pengurusnya. Ini contoh yang terlalu ekstrem memang.

Tapi ketika kita hanya melihat dengan kacamata duniawi. Tentu kita ingin perbuatan baik (dan uang yang kita sumbangkan) bermanfaat untuk sesama manusia dan lingkungan di bumi ini.
Hingga entah bagaimana semesta berkonspirasi (yaelah) menyuruh Bimo merekomendasikan sebuah buku kepada saya.

Judulnya adalah: Effective Altruism oleh William MacAskill. Saya langsung meminta (setengah memaksa) meminta kopi e-book nya dari Bimo.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna. Dari judulnya kita bisa menebak, bahwa buku ini mirip seperti manual book bagi orang-orang yang ingin berbuat baik, bukan sekadar berbuat baik, namun berbuat baik seefektif efektifnya. Haha

Ini cukup menyentak diri saya. Karena selama ini, ketika kita berbuat baik, kita lebih banyak menggunakan perasaan dibanding logika (iya gak sih?) kita akan cenderung empati dan menyumbang untuk korban bencana alam- yang MacAskill temukan dalam buku ini bahwa perbuatan tersebut kurang efektif dibanding berdonasi misalnya, untuk usaha pengurangan cacingan (deworming)- yang MacAskill paparkan dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah.

Buku ini menyuguhkan data statistik empiris tentang usaha-usaha sosial di dunia, yang gagal dan yang berhasil. Supaya kita bisa belajar dan merencanakan aksi sosial secara lebih efektif.
Bahkan MacAskill mengenalkan alat ukur QALY untuk mempermudah kita mengukur efektivitas sebuah kegiatan sosial.

Oh iya, ada satu bab yang menarik dalam buku ini, yaitu advise tentang karir. MacAskill mengukur probabilita seorang kawannya yang alumni PPE ketika ia akan berkarir sebagai politisi di UK. Saya juga jadi mengenal istilah earning to give. Bahwa waktu dan skill kita mungkin akan lebih efektif jika kita bekerja di sektor privat dan mendonasikan penghasilan kita untuk kegiatan sosial, alih-alih menjadi pekerja sosial (habis ini siap-siap jadi kutu loncat, eh :p).

Buku ini memang 'hanya' membahas efektivitas altruisme secara kuantitatif dan makro. Dan faktor afektif dalam berbuat baik tidak mungkin terhindarkan.

Tapi tenyata, kita harus memaknai ulang keikhlasan. Yaitu dengan rasional menghitungnya :)

catatan: makna Ikhlas dalam Bahasa Arab adalah 'melakukan segala sesuatu semata-mata untuk Allah SWT'. namun 'ikhlas yang saya maksud di tulisan ini adalah yang secara umum dipahami masyarakat Indonesia, yang dalam bahasa Arab lebih tepat disebut 'ridha'




Sunday, April 30, 2017

Bapak saya, seorang buruh pabrik semen.

Sejak awal usia 20an nya. Bapak saya mulai bekerja di Pabrik Semen di Cilacap. Pabrik ini telah sekian kali berganti kepemilikan, dari milik adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo setelah sebelumnya miliki Jepang hingga akhirnya dijual ke Perusahaan Swiss, Holcim.

Bapak selalu menyebut dirinya buruh. Walaupun hingga akhir karirnya, setelah lebih dari 30 tahun mengabdi di perusahaan yang sama dari menjadi operator mesin hingga level middle management. Ia tetap menyebut dirinya buruh.

Entah penghayatan apa yang ia miliki. Tapi saya mengenal Bapak sebagai orang yang selalu peduli dengan orang lain. Ia tetap aktif di Serikat Pekerja, berdebat dengan auditor-yang dibayar ratusan dollar per jam, menuntut upah yang 'layak' bagi kawan-kawannya. Bapak juga kerap lebih peduli pada 'orang lain' dibanding keluarganya sendiri, setidaknya Mama pernah protes begitu.

Status Bapak sebagai 'buruh' bukan lantas membuat kami menderita. Ketika rumah tetangga masih beralaskan tanah. saya bisa selonjoran di atas lantai keramik. Ketika kawan saya mandi dari sumur timba, keluarga kami sudah punya pompa listrik.

Tapi, Bapak tidak pernah menanamkan pada anak-anaknya bahwa kami orang 'kaya'. Semacam menolak kemapanan mungkin. Saya bersyukur dibesarkan di keluarga yang sederhana dan 'cukup'. Bapak membenci gaya hidup borjuasi. Ia kerap memberi contoh Pak ini atau Bu anu yang lebih mementingkan penampilan melebihi penghasilannya. Kelak, saya memperkenalkan filsafat Kierkegaard (atau Berdayev ya?, lupa hehe) tentang mahluk etika dan estetika kepada Bapak.

Bapak selalu menekankan substansi. Waktu itu, kalau tidak salah ingat, saya belum sekolah dan mungkin Mas Bondan masih SMP. Bapak memberikan tekanan bahwa kami bertiga saudara harus kuliah di perguruan terbaik di negara ini. Hanya dengan cara itu kita bisa meningkatkan derajat, katanya. Lebih baik tabungan Bapak dipakai untuk menyekolahkan kalian daripada membeli mobil Kijang terbaru.

Dari Bapak pun saya belajar integritas. Bapak sangat anti mengambil jalan pintas untuk cita-cita anaknya. Misalnya, praktek membayar lebih 'lewat jalur belakang' untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi sangat umum di lingkungan kami. Tapi Bapak tidak pernah melakukannya dan meyakinkan kami bahwa perilaku demikian haram di mata hukum, agama dan sosial. Begitu pula dengan pekerjaan, Bapak membebaskan anak-anaknya berjuang sendiri meraih apa yang diinginkan (dan kami masih berjalan menuju ke sana).

Bapak juga orang yang sangat open minded. Mas Bandu selalu bilang, bagaimana ceritanya di antara belukar dan asap di desa Karangtalun ada bocah yang kelak jadi seniman- kosakata yang bahkan tidak bisa dimasukkan di kolom 'pekerjaan' saat kakak saya membuat KTP di kelurahan. Ia membebaskan kami memiliki cita-cita dan pemikiran kami sendiri.

Syahdan, salah satu hal yang saya syukuri adalah Bapak dan kakak-kakak saya, yang laki-laki- namun selalu terbuka mengajak saya diskusi hingga larut malam, tentang agama, politik, sains, masalah sosial dan banyak hal lain di dunia ini. Yang mau mengajak saya, berpikir. Yang mungkin, membedakan saya dengan beberapa anak-anak perempuan lain di luar sana. Hingga saya meyakini, semua keluarga seharusnya seperti ini!.

Ini sedikit cerita tentang Bapak saya yang buruh. Yang taat bekerja mematuhi jam kerja sekaligus tetap kritis terhadap korporasi nya.

Selamat Hari Buruh, Bapak

Sunday, April 2, 2017

Belajar dari Sullivan

"I need scarers who are confident, tenacious, tough, intimidating. I need scarers like... like... James P. Sullivan."
-Henry J. Waternoose


Apa yang dapat kita pelajari dari Sullivan, salah satu monster di film Monster Inc. ?
Well kita mendapati bahwa Sullivan adalah salah satu pekerja yang jujur, passionate dan melakukan pekerjaannya dengan sangat baik.

Tapi mari kita melihat ke masa lalunya yang diceritakan dalam film prekuel Monster University. Dari film itu kita tahu bahwa Sully ternyata drop out dari MU, tapi di akhir cerita ia tetap masuk ke Monster Inc. lewat jalur 'lain' yaitu menapaki tangga karir dari level pengantar surat.

Kisah Sullivan ternyata juga terjadi di dunia nyata manusia (Haha). Dari sebuah training, saya mengetahui Houtman Zainal Arifin sosok yang menapaki jenjang karir dari seorang Office Boy hingga Vice President di Citibank. [cerita pak Houtman]

Tidak seperti Sully, saya berhasil lulus dari universitas impian saya (walau dengan babak belur). Dan beberapa saat setelah menyanyikan Gaudeamus Igitur di Balairung (read: wisuda) saya begitu bingung 'shit, what's hella next?'. Masuk UI telah menjadi impian ultimate saya hingga seolah-olah setelah itu tidak ada yang perlu dicapai lagi. Konyol memang. Baca post saya yang ini

Kemudian saya menghabiskan waktu setahun setelah lulus dengan magang di KontraS dan UNDP. Sebuah pilihan yang sungguh antimainstream di kalangan teman-teman saya. Karena, alasan sesungguhnya adalah: I don't know what hella to do with my life, but at least I should keep my muscles and mind busy.

Saya juga sibuk kerja freelance (ngasong, kalo istilah anak Psikologi) dan melamar pekerjaaan di berbagsi company. Karena, ya saya butuh uang buat beli lipstik dan minum kopi, hehe. Ini karena kebutuhan pokok saya masih ditopanh oleh Ayah dan kakak-kakak saya. Maka hal tersebut juga privilese buat saya untuk tidak terburu-buru nyari uang.

Dan betul lah apa kata Francois Lelord. Perbandingan akan mendisrupsi kebahagiaan kita. Ih enak ya dia udah kerja di BUMN, Ih enak ya anu kerja di konsultan, Ih keren ya dapet lpdp bisa S2 di luar. Saya kerap melihat teman-teman saya yang jauh lebih 'sukses' dibandingkan saya.

Hingga saya mendarat di salah satu wawancara dengan perusahaan swasta. Interviewer bilang "saya lihat CV kamu, kalau kamu mau membangun karir di NGO, you are on the right track. Kenapa tiba-tiba daftar ke perusahaan ini?" Makjleb! Kalimat tersebut terasa seperti pujian sekaligus penolakan. Haruskah saya menjawab jujur, "saya butuh uang Pak!" Hahaha.

Hingga kini, saya masih menganggap passion itu mitos. Namun pekerjaan akan menjadi sangat melelahkan jika orientasinya hanya uang dan kita tidak happy melakukannya.

Saya juga meraba-raba ada sebuah sindrom millennial yang terlalu 'sombong' untuk mengerjakan pekerjaan remeh temeh, seperti pekerjaan Sullivan yang mengantar surat di kantor Monster Inc. Haha. Setelah lulus dari kampus, mungkin kita merasa sudah pro segalanya. Tapi yakinlah ketika masuk ke belantara pasar tenaga kerja, kita mulai semuanya dari dasar terendah rantai makanan. Hahaha

We're all get our perks and twerks. To all jobseekers, fresh graduates, millennials out there please stay tough, keep searching. Semoga kalian bisa seperti Sullivan atau seperti apapun yang kalian inginkan.

XO,

Kampung Bali
3 April 2017

Saturday, April 1, 2017

Om, telat om

Bukan kok bukan telat datang bulan

Tapi... Ini kebiasaan buruk saya dari dulu. Sering sekali telat datang di suatu acara. Terutama jika acara tersebut di PAGI HARI. Karenanya ya, saya susah bangun pagi :'( saya pun malu banget ketika ditegur salah seorang dosen (yang saya tau beliau bukan muslim) "trus kamu solat subuhnya gimana dong kalau bangun siang?"

Iya Pak saya sering telat (bahkan terlewat) solat subuh. Atau bahkan begadang sampai solat subuh dulu baru tidur :(

Bangun pagi memang erat dikaitkan dengan produktivitas dan kesuksesan seseorang. Iya gak sih?. Jadi saya low grade banget dong sebagai manusia. Nanti kalau pas taaruf jangan-jangan bakal ditolak karena suka bangun siang #hah #apasih

Bolehlah saya berargumen kenapa saya tidak suka bangun pagi. Pertama, ini kebiasaan sejak kecil, menurut Mama, daripada saya ngerepotin sejak pagi saya dibiarin tidur aja sampe siang. Haha, ujung2nya nyalahin pola asuh.

Nah kebiasaan ini semakin menjadi-jadi saat saya kuliah dan sering begadang...

Nah kalau untuk masalah telat dateng ke suatu acara itu karena saya males nunggu #eak. Jadi kalau bukan panitia, saya prefer dateng mepet biar pas dateng acaranya udah mulai. Walaupun sering berakibat gak dapet tempat duduk atau kelewat coffee break. Haha.

Padahal saya tau kebiasaan ini banyak mudhorotnya buat saya. Banyak banget lah kerugian yang saya alami karena suka bangun siang dan suka telat.

Hufth

Ini shitposting setelah merasa bersalah telat dateng untuk presentasi pitching.

Jadi, ada yang punya tips biar saya bangun pagi dan gak suka telat?

Friday, March 31, 2017

Nur

Nur adalah seorang mahasiswi PTN yang cukup terkenal. Selain kuliah, ia juga senang berorganisasi. Kepekaan Nur dengan lingkungan sosialnya membuat ia turut ambil bagian dalam bidang pemberdayaan masyarakat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa di kampusnya.

Suatu hari, ia mendapat kabar bahwa anak seorang petugas kebersihan di kampusnya sakit keras. Belum jelas apa sakitnya, Nur dan kawan-kawannya berinisiatif menghimpun dana untuk membantu Rendy, anak petugas kebersihan itu. Seminggu berselang, Rendy ternyata diketahui mengidap kanker paru-paru.

Di usianya yang belum genap lima tahun, ia menderita penyakit tersebut karena mungkin ayahnya adalah seorang perokok. Ia pun tinggal di pemukiman padat penduduk yang tingkat polusinya tinggi. Nur dan kawan-kawan sudah berhasil menghimpun 27 juta rupiah. Angka yang cukup fantastis bagi Nur. Namun ternyata biaya pengobatan Rendy jauh lebih mahal dari itu. Sedangkan orang tua Rendy tidak memiliki asuransi dan BPJS kesehatan. Gaji yang mereka peroleh per bulan pun di bawah UMR karena dipekerjakan sebagai pegawai outsourcing oleh kampus Nur. Gaji itu dipotong biaya macam-macam oleh si penyalur tenaga kerja. Nur tetap berinisiatif menghimpun dana, sambil mencoba mengusahakan asuransi untuk Rendy. Hari itu, di halaman sembilan surat kabar kota, tersiar kabar korupsi fasilitas kesehatan oleh kepala daerah.

Esoknya, Tuhan lebih menyayangi Rendy. Ia meninggal sebulan sebelum berulang tahun ke-lima. Nur menangis sejadi-jadinya di kamar mandi kampus, karena tidak ingin ketahuan oleh siapapun. Ia membetulkan riasan wajahnya dan bersiap rapat dengan kawan-kawan BEM nya. Setelah sepakat untuk menyerahkan 'uang duka' yang semula direncanakan sebagai biaya pengobatan Rendy, giliran teman Nur dari bidang Aksi dan Propaganda yang bicara.

Mereka akan ikut teman-teman dari BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat untuk demo ke DPR. Tentang FCTC katanya, Nur tidak tahu apa itu. Ia terlalu kesal dan sudah jengah dengan teman-temannya yang suka berdemo. Tidak solutif! Pikir Nur. Kemudian Nur merasa hatinya pahit karena iapun tidak bisa menjadi 'solusi' bagi si malang Rendy.

***

Waktu sudah lama berlalu, setelah lulus dengan nilai cum laude, Nur menjadi karyawan Management Trainee di sebuah korporasi FMCG. Tiga tahun bekerja Nur menjadi karyawan yang brilian namun merasa kurang bahagia. Ini karena ia juga tiga kali diopname selama bekerja di perusahaan tersebut.
Nur melihat lowongan CPNS di sebuah broadcast message di grup keluarganya. Iapun iseng mendaftar. Tak dinyana, entah beruntung entah kompeten, Nur diterima.

Ia kini bekerja di suatu direktorat jenderal yang cukup penting di Kementerian Kesehatan. Suatu hari ia menghadiri workshop di hotel bintang lima. Dengan penginapan yang nyaman dan jamuan makanan yang lezat. Lucunya di workshop itu ia baru tahu apa itu FCTC, kepanjangannya adalah Framework Convention on Tobacco Control, memori bertahun-tahun lalu pun berkilat. Tentang demo, tentang Rendy, dan kenangan masa kuliahnya.

Saat ini Indonesia belum meratifikasi FCTC juga ternyata. Hmm, ia jadi ingat betapa bos bulenya di perusahaan yang lama terkejut akan harga rokok yang begitu murah di negeri ini. Tentang bude nya di kampung yang berhenti menjadi petani dan memilih jadi buruh di pabrik rokok. Dan, tentang Rendy yang meninggal karena kanker paru-paru...

Seketika quiche yang ia suapkan ke mulutnya menjadi hambar... sembari mendengar ceramah Menteri Kesehatan, Nur berpikir
"Apa yang saya lakukan sudah benar?"

Ini adalah cerita fiksi

Wednesday, March 8, 2017

LPJ Harta Karun Firaun

Dipos setelah 2 tahun balik dari Mesir bcs I'm mager af. Tadinya mau pake foto segala tapi hape lemot, semoga kalian happy.

1. Makan Indonie yang diekspor ke Mesir -mala
sudah kulakukan, setiap hari. Indomie di Mesir itu diproduksi di Arab Saudi, ada sambel ABC juga. untung gue ga mati ya tiap hari makan indomie, malah kurusan loh. serius!
2. Pake lipstik merah darah yang tebel tiap malem jumat -kharis
karena dinginnya suhu udara di bulan desember januari, bibir saya kering mengelupas, jadi jarang make up an deh :(. oia ada kosmetik lokal mereknya Luna, itu cocok banget buat kulit kering yang ampe pecah pecah gitu, #bukanendorse
3. Berdandan seperti Cleopatra dan pergi mall -kharis
Cleopatra tidak syar'i
4. Tayamum pake pasir Mesir -rima
alhamdulillah air bersih cukup mudah diakses sehingga tak perlu tayamum
5. Makan nasi, krupuk, dan sambel terasi bareng bule -kharis
di Kairo banyak restoran Indonesia lhoh! di Hay Al Asr, distrik 10 banyak mahasiswa Indonesia yang membuka rumah makan dengan Indonesia, bayangin cuy bisa makan soto, ayam bakar, mendoan di benua afrika. haha, tapi jangan bayangin restoran ini mudah ditemukan, soalnya ini sebenernya flat biasa yang dalemnya dijadiin rumah makan lesehan gitu. jadi disarankan nyari temen anak al azhar dulu minta dianterin ke sono. btw teman2 w yang bule senang dengan makanan kita :))
6. Pake cadar tiap hari jumat dengan warna yang berbeda -mala
yah sayang ga bawa cadar :( nanti w dikira pengikut IM gimana :( padahal kan iya :( tapi boong :( apasih :(
7. Pake kutek ungu -rima
karena gue lebih into FISIP daripada FKM jadinya gue pake warna orens aja ya, wkwk padahal ini karena warna itu yang lagi diskon di H&M di sini ada kosmetiknya dengan harga yang tentunya terjangkaw, gue beli kutek dan liptint doang sih, hauhau
8. Foto sama dubes Indo di Mesir -tile
Gue bahkan ga sempet ke kedubes Indo di sini, hwkhwk karena... kedubes Indonesia misah sendiri tempatnya di Garden City sedangkan negara- negara lain di Zamalek. hu, sedih
9. Ngobrol sama orang tentang pergolakan Mesir -pede
I did it, many times. Pertama sama Ahmed, mahasiswa hukum syari'ah Al Azhar, katanya dia ikut demo yang di Tahrir Square tahun 2011 an trus orang di depannya unfortunately ditembak polisi dan jihadis malang itu jatuh ke Ahmed, oh meen, serem banget gue aja ga kebayang bagaimana rasanya melihat orang kehilangan nyawa di hadapan lo :( yang kedua ngobrol sama Svenja, kolega gue dari Belanda yang belajar Middle East studies, seru bangat lah pokonya ngobrol sama mba Svenja, haha dia lebih tau sejarah timur tengah (yang banyak berkaitan dengan sejarah Islam) dibanding w yang mengaku Islam. *tawadhu*
Insight nya sih: demokrasi, freedom of speech semahal itu loh bray, jangan disia sia kan (sia- chandelier) *apasih. Dan selalu butuh politisi yang selfless untuk menjadi negarawan #wetsah
10. Temukan satu piramid baru -danti
yakali Dant
11. Fotoin tetangga kamar lo -rima
Ini Ira, cewek Ukraine yang ambi dan akan menguasai dunia bersama gue sebentar lagi, wakwak
12. Foto sama mumi -danti
kalo mau liat mumi di Egyptian Museum of Antique itu bayar dan serem, jadi buat apa gue bayar untuk ngeliat hal yang serem, oia dan di dalem museum ini gaboleh foto. salah satu EP dari Cina ada yang sampe dipenjara karena nekat foto2 di area terlarang :(
13. Makan es krim bareng cowo Mesir -kharis
cih, eskrim is for kid, we did nge sisha bareng :3
14. Selfie setiap kali ke tempat baru sama orang Mesir -tile
hape gue kan rusak le, dan orang mesir serem serem akghk
15. Gebet satu anak Al Azhar Kairo -danti
tidak saya lakukan, sekian
16. Nyuci kancut/ kaki/ mulut di Sungai Nil -danti
nyuci tangan doang pas naik felluca, trus gue liat ikan semacam ikan lele
17. Foto dengan pria bermata biru berambut pirang -pede
gak nemu
18. Temukan lampu ajaib aladdin dan foto penjualnya jadi jin -mala
nemu sebenernya pas di khan el khalili, mau beli juga ragu, dan para penjual di pasar ini garang- garang bingit. akunya tadi takut, fufu
19. Pake BB cream buat sunblock kaki - rima
wa selalu pake kaos kaki, syar'i bingit kan, padahal gara gara dingin
20. Minum susu yang tulisan di kotaknya arab -pede
mau merk apa? al marai, labanita, beyti, isis? haha hampir setiap hari mimik cucu karena enak dan murah :9
21. Minum susu unta seminggu sekali -tile
fyi, unta di mesir ga segitu banyaknya, dan gak umum juga buat dikendarai sehari- hari, lebih umum keledai, w banyak banget liat keledai disini. apalagi buat dikonsumsi
22. Bikin video maju mundur cantik depan kamar -mala
gamau, alay
23. Foto kepala sphinx diganti Binar, atau Binar di atas piramid -tile
jadi kan, gue jatoh dari kuda pas di piramid, trus lagi homesick homesicknya, jadi gak mood buat foto foto bgt, haha begok ya, yaudah mau gimana lg
24. Foto dengan barang yang mesir banget -pede
coba lebih operasional pet
25. Makan di cafe yang lambang tokonya biru -pede
lupa, Auntie Anne's?
26. Selfie lagi ngaji -rima
jangan ah, nanti riya'
27. Melakukan dialog dengan diri sendiri ketika matahari terbenam -pede
I did :) sunset di Mesir bagus bgt btw, di Al Azhar park dan di Alexandria. harus kuakui, bahkan Kuta kalah deh
28. Hafal satu lagu Mesir -tile
susah, ada sih lagu yg ngetren bgt tiap hari denger dimana mana, tapi gatau judulnya, huhu
29. Makan kebab unta -mala
daging unta tidak umum dikonsumsi
30. Nonton pertunjukkan tari perut dan ikut jadi penari -Kharis
nah ini yang wtf moment bgt pas gue naik felluca, rame rame sama penumpang lain, gak nyewa, tiba tiba sekelompok remaja putri nari perut, wakakak, mereka berjilbab dan all out banget narinya, wakakak
31. Bikin video spesial buat gue yang isinya ucapan dari cowok Mesir -kharis
udah ya :) tapi dari cowok Argentina, haha
32. Foto sama cowok Al Azhar, upload, tag ke Sukin -mala
apaan sih, mal. haha ntar deh gua tag, wk telat. oke bhay
33. Tahun baruan di Piramid/ sungai Nil -tile
aku tahun baruan di Cairo Opera House :3 nothing istimewa sebenernya, masih jetlag jugak
34. Buktikan bahwa Mesir pernah mengimpor kapur barus dari Sumatra -danti
ti :/
35. Tabung satu pound per hari -danti
ini paling praktikal sih, I do nabung sehari se pound, dan bener aja, di hari terakhir abis buat bayar taksi ke bandara :'
36. Sholat outdoor kayak di ayat ayat Cinta -rima
duh, susah bgt mau solat di sini, mushola aja bahkan bbrp khusus untuk laki- laki. tapi sering liat sih banyak musola outdoor, karena jarang ujan ya

sekian :*

Tuesday, February 14, 2017

Love

What is love actually
I was learning it at college for a semester and still haven't got any clue

You, by the way
I always have that silly tingly blushy feeling when I remember you
And I want to blame our pheromone
We've known each other for one year now
I have mesmerized by the second I met you
It's not your looks
You're not an open book
Your words always blew my mind in a way nobody ever does
Yet I'm afraid to ask
Is this love?

Yeah you,
If by any chance you read this
Maybe you don't know that I'm talking about you

Yeah you,
Since we still believe in God
I hope once in a rainbow He will sparkle moon dust around us
I have that vivid imagination
That we'll grow old together
Read books, drink coffee and take nap together
You'd be doing good, best
Because sometimes you just too good to be true
Yet you are the truest
Life with you would never just pay taxes and die

And if any of that will never happen
Please, be my good friend

I love you

Kukusan, February 14th 2017

Monday, February 13, 2017

Kisah 8 Dirham dan Konsumerisme Hari Ini

Pada suatu peselancaran youtube, saya menemukan video klip sebuah lagu Gita Gutawa yang ternyata sudah dirilis cukup lama namun saya baru mendengarnya. Yaitu Kisah 8 Dirham.
Kisah ini adalah tentang Rasulullah Muhammad SAW yang membawa uang 8 Dirham untuk membeli pakaian. Dalam perjalanan, ia bertemu budak sahaya yang kehilangan 4 Dirham, Rasulullah pun memberikan 4 Dirham uangnya. Dengan sisa 4 Dirham, ia bertemu lagi orang yang belum makan maka kemudian Rasulullah memberikan 2 dirham. Sisa uang Rasul kini 2 Dirham, ia ke pasar dan membeli pakaian seperti niat awalnya. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu orang yang bilang bahwa ia tidak punya pakaian. Maka Rasul memberikan pakaian barunya terhadap orang tersebut. Lagu yang dibawakan Gita Gutawa sedemikian catchy hingga saya pun hapal kisah Rasul dengan keteladanan sedekahnya tersebut.
Sekarang, saya sedang suka 'kepo' tentang gaya hidup minimalism. Hal ini berawal dari blogger yang mempromosikan gaya hidup zero waste, yaitu Laura Singer dan Bea Johnson. Komitmen mereka untuk tidak menyisakan sedikitpun sampah dari gaya hidup yang mereka jalani praktis nengubah total pola konsumsi dan keseharian mereka.
Hari ini, kita hidup dimana semua barang dapat dengan sangat mudah didapatkan. Misalnya, pada masa kakek nenek saya, sebuah keluarga harus memproduksi minyak keletik (minyak kelapa) untuk keperluan goreng menggoreng. Nenek nenek kita juga kebanyakan memiliki kemampuan menjahit karena pada zaman itu, sepotong baju tidak bisa dengan mudah didapatkan di department store terdekat. Di satu sisi, tentu segala kemudahan ini adalah kemajuan. Di sisi lain, kita tahu bahwa 'kemajuan' industri ini tidak melulu berdampak baik, bahkan banyak efek samping dari segala kemajuan industri masal ini.
Saya baru saja selesai menonton dokumenter The True Cost. Dan praktis dibuat mual oleh seramnya industri fashion dunia. Ini baru industri fashion, belum lagi industri industri lain yang ada di dunia ini.
Entah darimana awalnya, kini kita mafhum dengan stereotipi bahwa perempuan suka belanja. Dan saya pun mengamininya!. Saya selalu menganggap aktivitas belanja adalah rekreasi. Melihat-lihat, memilih, hingga akhirnya membeli barang-barang yang tidak terlalu kita butuhkan. Saya sangat suka membeli pouch, dan setelah dihitung-hitung saya punya lebih dari 10 pouch, buat apa coba?!.
Ketika membicarakannya pada tataran yang lebih ideologis. Kita dapat berargumen bahwa perilaku konsumerisme sesungguhnya sengaja 'diciptakan' oleh sistem ekonomi kapitalis. Kepemilikan benda dianggap berbanding lurus dengan kebahagiaan. Iklan dibuat sedemikian rupa bahwa kita memerlukan banyak benda-benda agar bisa bahagia. Musim sale dan diskon-diskon diciptakan seolah-olah kita akan mengalami kelangkaan panjang. Kita terlena dengan kemewahan-kemewahan yang ditampilkan media dan sangat ingin memilikinya.
Pada akhirnya kita merasa lelah dan kewalahan. Saya tinggal di sebuah kamar kos berukuran kurang lebih 15 meter persegi dan selalu merasa memiliki terlalu banyak barang. Sebenarnya ada solusi simpel atas masalah saya ini, yaitu: stop belanja!. Namun ternyata tidak semudah itu, perlu proses panjang untuk mengubah pola pikir saya tentang konsumerisme. Bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh benda-benda yang kita beli dan miliki. Dan bahwa ada harga yang jauh lebih mahal atas aktivitas belanja yang kita lakukan.
Kembali lagi pada Kisah 8 Dirhamnya Muhammad SAW. Sebagai seorang muslim, seharusnya saya meneladani sikap hidup Nabi saya, yaitu zuhud. Dalam berbagai riwayatnya, Rasul selalu diceritakan sebagai pribadi yang sederhana, bahkan bisa dibilang anti kemewahan. Ia menjahit bajunya sendiri dan bahkan alas tidurnya hanya dari pelepah kurma :( Ya semoga kita semua bisa berproses menjadi lebih baik :)
2017, ayo hidup 'minimal' !!!
Insipirasi:

- Film dokumenter The True Cost
https://youtu.be/zB-YRhcH5tg
- Sejarah Singkat Konsumerisme
https://youtu.be/Y-Unq3R--M0
- TEDx Bea Johnson
https://youtu.be/CSUmo-40pqA
- Instagram Bea Johnson @zerowastehone dan Laura Singer @trashisfortosser
- Blog Caroline Joy dan Cait Flanders