Friday, October 2, 2020

Kenapa Mbah Kakung Tidak Solat?

 Kenapa Mbah Kakung Tidak Solat?

Pertanyaan itu saya ajukan, kepada setiap penghuni rumah dan Mbah Kakung sendiri. Tidak pernah ada jawaban memuaskan. Kakak saya pernah berbohong "Mbah Kakung solat kalau malam saja" atau jawaban malas Mama "Mbah Kakung sudah solat, kamu gak liat".

Lama baru saya paham, Mbah Kakung tidak solat karena beliau tidak menganut agama Islam. Ia percaya pada ajaran, aliran, sinkretisme (apapun lah namanya) Kejawen. Mbah Kakung 'beribadah' dengan caranya sendiri, bukan dengan solat. Saya gak terlalu peduli, karena Mbah Kakung adalah salah satu orang paling baik yang saya kenal. Yang mengantar saya ke sekolah dan diam-diam memberi saya uang saku lebih. Yang menemani saya bermain pasar-pasaran. Yang sering membantu saya mengerjakan PR Kesenian dan Bahasa Jawa.

Ya, tapi Mbah Kakung tidak solat.

Pernah sih, saat Idul Fitri atau Idul Adha, untuk menyenangkan hati Mbah Putri, supaya 'patut' dilhat tetangga, Mbah Kakung ikut solat di masjid.

Ah betapa Jawa.

Suatu hari di tahun 2007, saya dan Mama hendak pergi ke Jogja menengok kakak tertua yang masih kuliah di sana. Mbah Kakung bahkan menyetrika baju akan saya pakai. Dia memang necis dan selalu menuntut saya tampil rapi.

Kami sampai di Jogja malam hari, dini hari ada telepon, kabar Mbah Kakung meninggal dunia. Kami buru-buru kembali ke rumah.

Saya terdiam melihat jenazah Mbah Kakung dikafani, kemudian disolati. Ya, Mbah Kakung yang jarang solat sekarang disolati, kemudian dikebumikan dengan cara Islam. Di KTP Mbah Kakung beragama Islam, ya karena tidak ada pilihan lain mungkin, nasib sama oleh sekian penghayat kepercayaan yang 'agama'nya tidak diakui negara.

Jam demi jam pelajaran agama saya lalui, semua bilang sama orang kafir akan disiksa di kubur dan neraka. 

Saya berpikir, masa sih Allah tega menghukum Mbah Kakung yang sangat baik?

Kerap saya berdoa, kalau ingat "Ya Allah sayangi Mbah Kakung seperti ia menyayangi saya" karena tentu bilangannya tak terkira.

Hingga saya bertemu seorang mentor yang juga dosen di fakultas saya. "Bagaimana 'nasib' Mbah Kakung?"

Ia menjelaskan panjang lebar dengan hati-hati.

Lalu kesimpulan saya: kita tidak tahu, kita tidak pernah tau.

Kita bisa tahu syariat Allah dan konsekuensinya, tapi kita tidak bisa menyimpulkan nasib orang lain berdasarkannya.

Yang kita tahu setetes air, yang tidak kita tahu seluas lautan