Tuesday, May 14, 2019

Walking Distance

Belakangan aku mengenal istilah baru, yaitu: walking distance. Artinya kurang lebih: jarak yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Contoh: "Grand Indonesia itu walking distance dari Bundaran HI"

Lalu aku menyadari bahwa definisi Walking distance setiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang 1 km, ada yang 10 km. Semua tergantung pada kondisi fisik juga kemauan atau asa dalam dada.

Maka Walking distance ini bisa dimaknai lebih jauh bukan hanya tentang berjalan kaki tapi tentang menjalani kehidupan ini. Ada orang yang bisa sangat kuat berjalan dari satu titik ke titik lain tanpa istirahat. Ada orang yang butuh bantuan orang lain untuk menggandengnya, menuntunnya atau bahkan butuh waktu yang lama hanya untuk mengumpulkan niat.

Hidup ini perkara 2 hal: kemampuan dan kemauan. Semuanya bisa dilatih terserah kita. Apakah Walking distance kita akan semakin jauh atau dibiarkan semakin pendek dan pendek.

Semua ada di 'kaki' kita

Jadi, ayo berjalan!

tidak peduli sepelan apa
tidak peduli selama apa

Sunday, May 12, 2019

Ibu Sumarsih

Hari Ibu Internasional jatuh pada hari ini. Dunia tidak akan kehabisan cerita tentang cinta kasih, perjuangan dan pengorbanan seorang Ibu.

Maka ijinkan saya menceritakan kisah tentang cinta Ibu yang satu ini. Kalau teman-teman berkunjung ke Taman Aspirasi Monas- tepat di seberang Istana Negara, ada seorang ibu yang hadir setiap Kamis di sana. Seorang Ibu yang kian hari rambutnya kian memutih menunjukkan makin senja usianya.
Namanya Bu Sumarsih, putranya, Wawan wafat pada tragedi Semanggi I 21 tahun yang lalu. Bu Sumarsih dan Suciwati, istri Alm. Munir menginisiasi Aksi Kamisan, menuntut Presiden menyelesaikan pelbagai kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Sudah lebih dari 580 hari kamis berlalu, belum ada jawaban yang mantap dari Pemerintah.

Kita bisa bicara HAM dan keadilan, tapi bagi saya Bu Sumarsih adalah bentuk nyata kasih ibu yang sepanjang jalan. Tidak habis dimakan tahun, tidak surut tanpa takut.

Semoga, perjuangan Bu Sumarsih segera menemui jawabannya.

#MenolakLupa

Tuesday, May 7, 2019

Abesien

Bab 1

Aurora berlari makin kencang, jantungnya berdegup keras. Mungkin ini pertama kalinya ia membangkang pada orang tuanya. Ia mendapat pesan aneh tadi malam. Ada harapan itu dari kakaknya, Balthazar yang sudah hampir satu tahun hilang. Ayah Aurora, Demeter Hakovic adalah pejabat terhormat di Bank Distrik, ibunya, Shana Hakovic adalah pengajar Kimia di Universitas. Keluarga Hakovic adalah keluarga terhormat. Anehnya, ayah dan ibu Aurora tidak pernah merisaukan kehilangan Balthazar. Mereka selalu bilang ke kerabat bahwa anak sulungnya pergi ke luar negeri, untuk penelitian sejarah. Aurora tahu itu dusta.

Napas Aurora makin tersengal-sengal, ia tidak biasa dengan aktivitas outdoor. Senja semakin surut di ufuk barat, langit makin gelap ketika gadis 16 tahun itu sampai di lereng Gunung Abesien. Terbaca tanda "DILARANG MELINTAS TANPA IJIN PEMERINTAH" yang sudah usang. "Orang gila pun malas pergi ke sini" gerutu Aurora dalam hati.

Ia melihat arlojinya, titik koordinat yang ia terima tadi malam menunjukkan tempat di dalam hutan di lereng Gunung Abesien, sekitar 120 kilometer dari rumahnya. Ia melangkah dan terus melangkah ke dalam hutan, ada beberapa pagar kawat berduri tapu dengan bantuan kacamata inframerah semuanya terang benderang.

Hampir satu jam Aurora berjalan, ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan. Dalam kesunyian, pikirannya melayang kemana-mana. Ia selalu heran kenapa daerah di balik Gunung Abesien ini terlarang untuk dikunjungi. Pernah suatu kali ia naik pesawat dan memandang jauh ke bawah, hutan tropis yang begitu lebat hijau dan indah kemudian pemandangan itu tertutup oleh awan. Aurora bertanya pada Ibunya apakah suatu saat mereka boleh berkunjung ke situ. Shana hanya menjawab tanpa memandang anaknya "Kau tau kita harus menghormati hutan dan wilayah-wilayah yang dijaga pemerintah. Terlalu bahaya untuk kaum seperti kita".

Seperti kita, pikir Aurora, memang ada siapa lagi selain kita.

Saat itulah kaki kirinya menyandung sebongkah batu besar dan licin, badan itu terpleset ke belakang. Kacamata inframerah Aurora terlepas dari wajahnya.

Ada tiga pasang mata bertemu dengan matanya yang buram. Nafasnya tercekat, ingin teriak tapi tidak ada suara yang keluar. Bau yang sangat tidak enak merasuki hidung Aurora. Mirip... bangkai binatang

Makhluk, seperti kita, tapi kotor, pendek, rambutnya berantakan dan sangat sangat menakutkan.

-bersambung-

We Really Hate to Lose


Materi Think Policy Bootcamp malam ini adalah Behavioral Economics (BE). BE sejatinya adalah hasil kawin silang antara ilmu ekonomi dan psikologi. Wah pas banget dong ya secara saya S1 nya dulu psikologi. Tapi kenyataannya udah banyak yang lupa teori-teorinya.

BE mengubah 'mitos' ilmu ekonomi tradisional bahwa semua manusia mengambil keputusan secara rasional. Nyatanya tidak, manusia tidak selalu memproses keputusan dan perilaku melalui sistem berpikir yang kompleks tapi juga banyak dipengaruhi refleks dan emosi.

Setelah diteliti, ternyata ketidakrasionalan manusia ini kurang lebih berpola, sehingga bisa juga diprediksi.

Pertanyaan pembuka untuk kelas ini, mana yang Anda pilih:

1. dapat diskon 2000 rupiah jika membawa tas belanja sendiri

atau

2. harus membayar 2000 jika memakai kantong plastik dari minimarket

Silakan menebak.

Tapi ternyata kebijakan 2 lebih efektif mengurangi penggunaan kantong plastik. Pendek kata, kehilangan 2000 rupiah ternyata efeknya lebih menyedihkan dibanding kesenangan mendapatkan 2000 rupiah (utility cost).

We call it loss aversion, karena perasaan kehilangan begitu menyakitkan maka inilah yang digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk 'mengakali' perilaku manusia.

Kalau ditarik pada tema bulan Ramadan kali ini, berarti lebih efektif menakut-nakuti bahwa jika kamu tidak beribadah maka kamu akan masuk neraka? atau anjuran, beribadahlah maka kamu akan masuk surga?

Kalau menurut saya,

Dengan tidak beribadah maka kita kehilangan kesempatan untuk masuk surga.

Hehehe

Menurut teman-teman bagaimana?

Buku bacaan jika tertarik untuk belajar Behavioral Economics:

1. Nudge by Richard Thaler
2. Thinking Fast and Slow by Daniel Kahneman

Monday, May 6, 2019

Resensi Knock Down The House

Knock Down The House
"Everyday American deserved to be represented by everyday American"
-Alexandria Ocasio-Cortez
Amerika adalah negara maju, kita semua tahu itu. Tapi Amerika juga negara dengan ketimpangan yang besar. 0,1 % orang terkaya di Amerika menguasai 188 kali kekayaan dibanding 90% orang lainnya (inequality.org).
Bukan hanya ekonomi, mereka yang duduk di kursi pengambil kebijakan juga berasal dari kalangan berpunya. Biasanya mereka adalah laki-laki, kulit putih, kalangan menengah ke atas, dan kemungkinan besar pengacara.
Dokumenter Knock Down The House menceritakan empat perempuan di Amerika Serikat yang mencoba melawan politisi mapan.
Mereka adalah pelayan bar, suster, ibu yang kehilangan anaknya karena tidak memiliki asuransi dan anak penambang batubara.
Selama menonton film ini saya sangat larut dalam emosi. Kemarahan yang berapi-api, ketakutan melawan si besar dalam kontestasi politik hingga kesedihan dan keputusasaan.
Menonton film ini membuat saya merasa ikut berjuang betapa susahnya untuk menjadi calon kandidat kongres dari partai demokrat. Sambil tetap bekerja, mengetuk pintu demi pintu, meminta tanda tangan dukungan, mengikuti berbagai kegiatan politik dan tetap menjaga eksistensi dengan harapan terpilih sebagai kandidat kongres.
Salah satu 'bintang' utama dokumenter ini Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) yang akhirnya berhasil menduduki kursi kongres Amerika, anggota kongres perempuan termuda sepanjang sejarah AS menujukkan betapa ia meraih semua ini dengan tidak mudah. Hal yang menarik darinya, menurut saya adalah dia benar-benar besal dari konstituennya di daerah Bronx dan Queens, New York. Salah satu distrik yang penuh dengan imigran. AOC pun berusaha berbicara dalam bahasa mereka dan berinteraksi dengan mereka. Inilah, mungkin, yang membuat ia akhirnya terpilih.
Tiga calon kandidat lain tidak semujur AOC, mereka kalah dari politisi mapan dari distriknya masing-masing. Saya pun tertegun dengan quote dalam film ini:
"For one of us make it through, a hundred of us had to try."
David telah berhasil mengalahkan Goliath, tapi dengan perjuangan yang memakan energi luar biasa.
Ini semua baru permulaan.
Oh iya, dokumenter ini bisa ditonton di Netflix ya

Sunday, May 5, 2019

Work Life Balance


"Take care of yourself. When you die, your employer will replace you easily"

Kemarin saya melihat instastory nya @raimulho tentang fake grinding, saya juga baru tahu ada istilah ini. Intinya, dewasa ini kita bangga  kalau terlihat sibuk. Dengan adanya sosial media, nampaknya kawula muda bangga kalau memamerkan 'kesibukan'nya entah dengan menunjukan bahwa jam 10 masih lembur, atau harus bekerja di akhir pekan.

Agama kita semua mungkin sekarang sama, agama kapitalisme. Kita menganggap bekerja adalah ibadah yang patut dibanggakan dan diumumkan. Mungkin bagus, to some extent, tapi menakutkan juga bila hal ini berakibat fatal. Seperti @raimulho yang sekarang sakit parah karena terlalu banyak mengonsumsi obat dan vitamin untuk memacunya tetap prima saat lembur. Banyak juga yang sampai meninggal karena terlalu banyak bekerja.

Hal ini menyedihkan memang, di saat konon umat manusia mencapai peradaban paling ultima dalam sejarah, kita kaum pekerja masih bekerja layaknya budak. Bahkan hingga kehilangan nyawa karenanya.

Tentu tidak manusiawi, di saat sudah ada hukum yang mengatur tentang maksimum jam kerja manusia per hari (8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekreasi) standar umum di dunia yang disepakati oleh ILO dan beberapa kesepakatan internasional lain.

Manusia akan melakukan hal yang paling bermakna untuk mengisi harinya. Sekarang, pekerjaan nampak 100 persen mendefinisikan diri kita. Saran saya, carilah hal-hal di luar pekerjaan yang bisa kita lakukan. Hobi, belajar, beribadah mauapun kegiatan komunitas yang membuat kita tetap 'waras'. Lagi-lagi, saya sadar hal seperti ini adalah privilege. Selagi kita masih beruntung memilikinya, do submit our life to our employer, they are not god.

Kita tentu punya teman dan keluarga. Temuilah mereka, jangan ada lagi cerita bahwa ibu atau ayah tidak mengenal dengan baik anak-anaknya karena terlalu dikuasai pekerjaan. Jangan ada lagi penyesalan anak-anak tak sempat menemani hari-hari terakhir mereka.

Jika kondisi saat ini masih membuat Anda bekerja serupa budak- tapi dibayar sedikit. Menengoklah ke luar, perbaiki diri dengan skill-skill yang dibutuhkan pasar. Sisihkan tabungan untuk pensiun. Your life is always in your hand, but sometimes we hand it to anyone else.

Lastly, work life balance can happen if only you have 'life'.

Live your life to the fullest!

Selamat bertemu hari Senin!