Tuesday, September 24, 2019

Mosi Tidak Percaya

Sedih. Itu mungkin yang merangkum perasaan saya atas keadaan negara hari ini.

Anggota legislatif yang kita pilih 5 tahun lalu tiba-tiba kepingin serangkaian Rancangan Undang-Undang bermasalah. Termasuk Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang mana beberapa poin di dalamnya amat sangat konyol.

Belum lagi, institusi yang kiranya menjadi terakhir dan satu-satunya, jika tidak satu dari sedikit yang masih dipercaya rakyat habis-habisan dikebiri.

Di tengah udara sesak di Sumatera dan Kalimantan yang dihirup bayi baru lahir hingga meninggal tanpa sempat diberi nama, presiden kita memilih pamer kemesraan dengan cucunya.

Marah.

Jika kita marah dengan pacar atau orangtua. Mungkin bisa saja kita ngambek. Pergi atau mengunci diri sebentar.

Bagaimana jika kita sedih, marah dan bahkan helpless kepada negara?

Dari dulu saya tidak pernah menganggap demo atau unjuk rasa sebagai sesuatu yang negatif. Ia adalah salah satu bentuk partisipasi politik. Agar penguasa tahu kita marah, agar semua orang tau ada masalah.

Tadi malam saya tidak bisa tidur, terus melihat linimasa twitter, amarah publik yang menjadi-jadi.

Padahal pagi hingga siang esoknya saya harus rapat di 3 tempat berbeda. Saya bangun dengan kalut. Rasanya ingin turut ambil bagian dalam Mosi Tidak Percaya ini, tapi ada kewajiban yang harus ditunaikan.

Semua rapat saya selesai jam 5 lebih, ditambah macet saat harus kembali ke kantor. Saya lelah, merasa lemah. Tiba-tiba ada rasa hendaya, ketidakmampuan untuk bertindak.

Sesaat kemudian, teman dekat saya yang ikut aksi mengabari. Dia dikejar polisi dan terkena gas air mata. Beruntung berhasil selamatkan diri.

Sedih,

Tapi sekaligus bangga melihat adik-adik mahasiswa, yang bahkan mungkin baru lahir 1998. Mereka tidak kenal Soeharto. Mereka lahir dalam udara reformasi yang bersama-bersama kita rayakan. Maka mereka yang pertama maju ketika reformasi ini dikorupsi.

Panjang umur perjuangan,

dari kami yang tidak mampu berbuat banyak

Tuesday, September 10, 2019

"Saya Nggak Bisa Bahasa Inggris"

Di sebuah grup whatsapp, seseorang meminta informasi lowongan pekerjaan. Karena kantor saya kebetulan sedang membuka banyak lowongan, saya teruskan informasi tersebut.

Lalu ia berkomentar "ada lowongan buat posisi X gak mba? lokasi kantornya dimana?", saya jawab pendek "bisa dibaca pada link yang saya kasih mba😊". Dia menjawab lagi "saya nggak bisa Bahasa Inggris mba, gak ngerti".

Jawaban seperti itu sering saya terima, dari orang berbeda, dalam konteks yang berbeda pula. Ketika saya membagikan artikel atau berita dalam Bahasa Inggris. Keluhan yang datang pun sama.

Saya sadar kesempatan untuk belajar dan menguasai bahasa kedua adalah privilege. Tapi bukan lantas hal ini membuat kita tak acuh dan malas belajar bahasa asing. Tidak sedikit juga yang 'bersembunyi' di balik alasan nasionalisme, padahal pemerintah pun berulang kali menyuarakan: "Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing".

Menguasai Bahasa Inggris sendiri sangat mendasar dan penting dalam konteks karir. Bayangkan berapa buku yang belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia yang bisa Anda baca dan berapa orang yang bisa Anda ajak ngobrol jika Anda menguasai bahasa yang sama.

Semoga kita semua semangat mengembangkan kompetensi diri, terutama keahlian bahasa.

Sukses selalu

Sunday, September 8, 2019

How to Adult

Menurutku, salah satu fase terberat dalam hidup manusia adalah memasuki usia dewasa. Kita berpindah begitu cepatnya dari era main-main tiba-tiba tanggung jawab yang begitu berat kita emban sendirian. Tiba-tiba kita harus punya tujuan hidup yang jelas, tentang pendidikan, karir dan hubungan interpersonal.


Memasuki usia dewasa, kadang kita (atau setidaknya saya) kebingungan akan pertanyaan: "siapa saya?". Kita mungkin akan mencoba mengasosiasikan diri kita dengan berbagai afiliasi, entah pekerjaan, hobi, latar belakang pendidikan, agama, suku dan lain-lain. Waktu kecil, saya menonton potongan film Anger Management di atas dan merasa lucu. Sekarang, saya sama bingungnya dengan tokoh Dave dalam film itu.

Minggu lalu, beberapa teman kuliah S1 saya sudah wisuda S2. Wah waktu cepat sekali berlalu ya, dan kadang terbersit penyakit hati: iri.

Bukan cuma iri pada pencapaian teman-teman, tapi lebih kepada 'ketangguhan' mereka. Ada teman yang S2 sambil bekerja penuh waktu, ada juga yang sambil memulai perannya sebagai seorang Ibu. 

Kadang saya berpikir "why I don't push myself harder" dan kemudian muncul rasa bersalah dan rendah diri. 

Lalu saya curhat sama Afina. Kata dia, "ya kamu mungkin bisa, tapi apakah kamu ingin?".

Kemudian diri ini mengevaluasi lagi apa tujuan hidup ini?. Ikut-ikutan orang lain?, validasi orang lain, atau apa?

Ndilalah, mata ini tertumbuk pada Kegan's stage of development. Yang ternyata menjawab kegalauan di atas, mungkin saya baru sampai tahap socialized mind. Berusaha menambal sulam identitas diri dengan berbagai label dalam masyarakat.

Semoga segera mencapai tahapan perkembangan diri yang berikutnya!



Monday, September 2, 2019

Unlearn

Dalam sebuah podcast, CEO Bukalapak Ahmad Zaky menuturkan bahwa manusia dewasa sebenarnya tidak susah untuk belajar (learn), yang susah adalah unlearn.

Unlearn dapat didefinisikan menjadi: menghapus informasi dari pikiran seseorang (yang telah dipelajari, misalnya kebiasaan buruk atau informasi yang salah atau usang).

Zaky mengibaratkan saat suatu perangkat elektronik, misalnya handphone akan susah di operasikan atau lemot ketika memorinya terlalu banyak. Hal ini menurutnya yang membuat golongan tua susah berkembang dengan pesat atau mengejar ketertinggalan.

Bahwa 'pura-pura bego' kadang memang perlu.

Tapi menurut saya, kapasitas maksimal otak manusia belum diketahui pasti. Unlearn bukan alasan untuk membiarkan otak kita kosong, namun menyisihkan ruang dalam otak (dan hati, eyak) agar selaku dapat menerima hal baru.

Selamat unlearn!