Sedih. Itu mungkin yang merangkum perasaan saya atas keadaan negara hari ini.
Anggota legislatif yang kita pilih 5 tahun lalu tiba-tiba kepingin serangkaian Rancangan Undang-Undang bermasalah. Termasuk Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang mana beberapa poin di dalamnya amat sangat konyol.
Belum lagi, institusi yang kiranya menjadi terakhir dan satu-satunya, jika tidak satu dari sedikit yang masih dipercaya rakyat habis-habisan dikebiri.
Di tengah udara sesak di Sumatera dan Kalimantan yang dihirup bayi baru lahir hingga meninggal tanpa sempat diberi nama, presiden kita memilih pamer kemesraan dengan cucunya.
Marah.
Jika kita marah dengan pacar atau orangtua. Mungkin bisa saja kita ngambek. Pergi atau mengunci diri sebentar.
Bagaimana jika kita sedih, marah dan bahkan helpless kepada negara?
Dari dulu saya tidak pernah menganggap demo atau unjuk rasa sebagai sesuatu yang negatif. Ia adalah salah satu bentuk partisipasi politik. Agar penguasa tahu kita marah, agar semua orang tau ada masalah.
Tadi malam saya tidak bisa tidur, terus melihat linimasa twitter, amarah publik yang menjadi-jadi.
Padahal pagi hingga siang esoknya saya harus rapat di 3 tempat berbeda. Saya bangun dengan kalut. Rasanya ingin turut ambil bagian dalam Mosi Tidak Percaya ini, tapi ada kewajiban yang harus ditunaikan.
Semua rapat saya selesai jam 5 lebih, ditambah macet saat harus kembali ke kantor. Saya lelah, merasa lemah. Tiba-tiba ada rasa hendaya, ketidakmampuan untuk bertindak.
Sesaat kemudian, teman dekat saya yang ikut aksi mengabari. Dia dikejar polisi dan terkena gas air mata. Beruntung berhasil selamatkan diri.
Sedih,
Tapi sekaligus bangga melihat adik-adik mahasiswa, yang bahkan mungkin baru lahir 1998. Mereka tidak kenal Soeharto. Mereka lahir dalam udara reformasi yang bersama-bersama kita rayakan. Maka mereka yang pertama maju ketika reformasi ini dikorupsi.
Panjang umur perjuangan,
dari kami yang tidak mampu berbuat banyak