one who has why can bear almost any how
Seorang teman pernah menulis adagium itu di status pesan singkatnya. membuat saya mengingat-ingatnya hingga kini.
Tahun lalu saya menandatangani kontrak baru di kantor saya, kali ini untuk membantu proyek konservasi di Papua-pendeknya begitu.
Papua, tak ubahnya Narnia dalam sistem berpikir saya, suatu tempat yang hanya saya kenal lewat layar televisi dan lembaran buku. Dan konservasi alam bukanlah topik saya, walau satu dekade lalu saya sangat gemar membaca artikel tentang go green di majalah Cosmogirl, hehe. Tentu pengetahuan saya tak bisa sebanding dengan kolega-kolega saya yang menyandang gelar doktor bahkan profesor dalam bidang ini.
Tempat baru, teman baru, topik baru. Banyak sekali tantangan (karena saya tidak mau menyebutnya sebagai hambatan) yang saya temui.
Saya mulai frustrasi dan bertanya-tanya akan banyak hal. Apakah yang saya kerjakan ini berguna? apakah betul-betul memberikan dampak? kenapa semuanya seolah begitu rumit dari hulu ke hilir.
Semua pertanyaan itu berujung pada pertanyaan. Kenapa saya bekerja? atau lebih spesifiknya, kenapa saya memilih pekerjaan ini?.
Lama saya berpikir dan mencoret-coret jawaban dalam buku catatan saya. Hingga saya meraih kaus gratisan dari kitabisa.com dengan tagar #orangbaik. Saya ingin jadi orang baik, bisakah? salahkah? terlalu muluk-muluk kah? terlalu narsistis kah?.
Saya ingin jadi orang baik. Lantas bagaimana caranya?
Saya bisa memberi makan anak-anak jalanan. Saya bisa pergi ke timur tengah untuk jihad. Saya bisa mendonorkan darah saya. Saya bisa menikah dan menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarga saya.
He* who has why can bear almost any how.
*and also she, of course
Gagasan menjadi orang baik begitu abstrak, kurang spesifik, tidak operasional. Kemudian saya ingat kutipan milik Eckhart Tolle "salvation is here and now". Sesaat kemudian saya juga teringat brosur Visi Papua 2100 yang dibawa oleh kolega saya.
2100, sebuah angka tahun, 81 tahun dari sekarang. Jika beruntung saya sudah menjadi pupuk subur bagi tanah tempat jenazah saya dikubur kelak. Dan apakah visi-visi itu, yang coba kami bantu wujudkan, akan menjadi kenyataan kelak? siapa tahu, mungkin belum, mungkin kenyataan melebihi.
Tiba-tiba hati terasa ringan, jika bekerja bukan melulu tentang hasil, kita bisa berserah tanpa menyerah. Menanam pohon yang kita tahu tak akan pernah kita nikmati buah atau teduh dahannya.
Saya belum menemukan why ultima saya. Namun barangkali serupa doa yang disisipkan orang tua lewat nama saya, menjadi Binar yang Asri nan Lestari.
Ijinkan, saya menjadi Binar itu, walau hanya redup setitik.
Aamiin