Aku masuk ke dalam lift. Saat pintunya menutup, aku bisa melihat refleksi diri, kulit wajah yang kian keriput, beberapa uban mengintip di sela-sela rambutku yang sudah berulang kali aku cat. Aku membetulkan kalung mutiara yang menjuntai di atas gaun biru tua selutut. Senormal mungkin, Larasati, senormal mungkin.
Hujan tiba-tiba turun ketika aku sampai di parkiran. Aku bergegas masuk ke mobil, mengaturnya agar secepat mungkin sampai ke rumah.
Baru akan kukeluarkan kunci rumah, anak sulungku membuka pintu.
"Nak..."
"Maaf Rio baru pulang, baru dengar kabarnya tadi malam, ada sedikit masalah di imigrasi"
"Gak papa nak, gak papa"
Kami berpelukan dan bersama-sama menangis.
Rio memecah hening dan melihat arlojinya.
"Sudah jam 6 Bu, Ibu saja dulu, aku jaga-jaga"
"Tutup semua tirai ya nak"
Aku membasuh wajah dan tanganku, wudhu-sebuah kata terlarang, aku hendak menangis lagi, tapi ingat kalau menangis membatalkan wudhu sedangkan waktuku sungguh sedikit.
Di ruang yang sejatinya kamar pembantu, tersembunyi di balik gudang, setersembunyi mungkin, aku selesai sholat-kata terlarang lain. Aku cuma sholat dua atau tiga kali sehari sekarang. Seharian aku bekerja, orang bisa lapor polisi jika melihat aku sholat, dan aku bisa mati di tempat.
Aku berdzikir seingatku, mungkin aku kian pikun sedangkan hafalan Alqur'an- kata terlarang lain, ku terbatas. Aku ingat ketika warga komplekku berkumpul di lapangan membakar semua cetakan kitab suci yang tersisa, ada yang diam, ada yang bersorak sorai, aku hanya menggenggam tangan suamiku, ketakutan. Semilir angin menusuk tengkukku yang sejak dulu ditutupi jilbab- mulai saat itu, tidak boleh.
Ah suamiku, sekarang aku berdoa sambil memeluknya. Kemarin polisi mengantarnya dalam kotak kaleng, sudah jadi abu. Iya, bahkan pemakaman yang dulu aku kenal pun sudah tidak ada. Aku memeluknya, setelah bertahun-tahun hilang, ia pamit bergerilya katanya, pemerintah menemukannya bersama kawan perkumpulnya, membunuh di tempat, dibakar, hingga hanya abu yang dapar kukenang.
Aku melihat lubang-lubang di mukenaku yang usang.
"TIDAK, KAMI SETIA PADA NEGARA!" pekik sulungku dari depan rumah.
Aku tercekat, celaka! pemerintah tahu segalanya.
-BERSAMBUNG-