Sejak awal usia 20an nya. Bapak saya mulai bekerja di Pabrik Semen di Cilacap. Pabrik ini telah sekian kali berganti kepemilikan, dari milik adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo setelah sebelumnya miliki Jepang hingga akhirnya dijual ke Perusahaan Swiss, Holcim.
Bapak selalu menyebut dirinya buruh. Walaupun hingga akhir karirnya, setelah lebih dari 30 tahun mengabdi di perusahaan yang sama dari menjadi operator mesin hingga level middle management. Ia tetap menyebut dirinya buruh.
Entah penghayatan apa yang ia miliki. Tapi saya mengenal Bapak sebagai orang yang selalu peduli dengan orang lain. Ia tetap aktif di Serikat Pekerja, berdebat dengan auditor-yang dibayar ratusan dollar per jam, menuntut upah yang 'layak' bagi kawan-kawannya. Bapak juga kerap lebih peduli pada 'orang lain' dibanding keluarganya sendiri, setidaknya Mama pernah protes begitu.
Status Bapak sebagai 'buruh' bukan lantas membuat kami menderita. Ketika rumah tetangga masih beralaskan tanah. saya bisa selonjoran di atas lantai keramik. Ketika kawan saya mandi dari sumur timba, keluarga kami sudah punya pompa listrik.
Tapi, Bapak tidak pernah menanamkan pada anak-anaknya bahwa kami orang 'kaya'. Semacam menolak kemapanan mungkin. Saya bersyukur dibesarkan di keluarga yang sederhana dan 'cukup'. Bapak membenci gaya hidup borjuasi. Ia kerap memberi contoh Pak ini atau Bu anu yang lebih mementingkan penampilan melebihi penghasilannya. Kelak, saya memperkenalkan filsafat Kierkegaard (atau Berdayev ya?, lupa hehe) tentang mahluk etika dan estetika kepada Bapak.
Bapak selalu menekankan substansi. Waktu itu, kalau tidak salah ingat, saya belum sekolah dan mungkin Mas Bondan masih SMP. Bapak memberikan tekanan bahwa kami bertiga saudara harus kuliah di perguruan terbaik di negara ini. Hanya dengan cara itu kita bisa meningkatkan derajat, katanya. Lebih baik tabungan Bapak dipakai untuk menyekolahkan kalian daripada membeli mobil Kijang terbaru.
Dari Bapak pun saya belajar integritas. Bapak sangat anti mengambil jalan pintas untuk cita-cita anaknya. Misalnya, praktek membayar lebih 'lewat jalur belakang' untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi sangat umum di lingkungan kami. Tapi Bapak tidak pernah melakukannya dan meyakinkan kami bahwa perilaku demikian haram di mata hukum, agama dan sosial. Begitu pula dengan pekerjaan, Bapak membebaskan anak-anaknya berjuang sendiri meraih apa yang diinginkan (dan kami masih berjalan menuju ke sana).
Bapak juga orang yang sangat open minded. Mas Bandu selalu bilang, bagaimana ceritanya di antara belukar dan asap di desa Karangtalun ada bocah yang kelak jadi seniman- kosakata yang bahkan tidak bisa dimasukkan di kolom 'pekerjaan' saat kakak saya membuat KTP di kelurahan. Ia membebaskan kami memiliki cita-cita dan pemikiran kami sendiri.
Syahdan, salah satu hal yang saya syukuri adalah Bapak dan kakak-kakak saya, yang laki-laki- namun selalu terbuka mengajak saya diskusi hingga larut malam, tentang agama, politik, sains, masalah sosial dan banyak hal lain di dunia ini. Yang mau mengajak saya, berpikir. Yang mungkin, membedakan saya dengan beberapa anak-anak perempuan lain di luar sana. Hingga saya meyakini, semua keluarga seharusnya seperti ini!.
Ini sedikit cerita tentang Bapak saya yang buruh. Yang taat bekerja mematuhi jam kerja sekaligus tetap kritis terhadap korporasi nya.
Selamat Hari Buruh, Bapak