Beberapa waktu lalu, saya mendapat proyek untuk membuat sejumlah modul untuk sebuah perusahaan. Salah satu modulnya adalah tentang sikap proaktif. Karena brief dari rekan saya cukup jelas, bahwa modul harus dibuat dengan bahasa yang mudah dipahami dan populer. Saya mengambil satu literatur populer yang ada di ‘top of mind’ saya. Stephen R. Covey dalam bukunya, 7 Habits of Highly Effective People (sebuah cult classic dan pionir dalam genre self help) memuat sikap proaktif sebagai habits pertama untuk diamalkan oleh manusia jika ingin ‘highly effective’. Dalam sub-bab proaktif ini, Covey mengemukakan sebuah konsep yang menurut saya sangat powerful, yaitu circle of concern.
Ilustrasi yang paling mudah dibuat oleh Mas Sabrang dalam menjelaskan 3 lingkaran di atas, circle of control adalah ketika kita mengendarai motor, jalannya motor sepenuhnya ada dalam kendali kita. Circle of influence adalah ketika kita membonceng motor, kita tidak bisa mengendalikan motor, namun kita bisa memberitahu pengemudi arah yang benar, saran rute yang lebih baik, kapan mau berhenti, dan lain sebagainya. Circle of concern terjadi kita papasan dengan motor lain, atau hanya melihatnya dari pinggir jalan, kita bisa saja khawatir motor itu jalannya oleng atau hampir menabrak sesuatu, tapi kita tentu tidak bisa melakukan banyak hal.
Mengenal framework ini cukup membantu saya dalam mengelola pikiran yang selama ini kerap dilabeli ‘overthinking’. Saya sering baper saat memikirkan hal-hal yang ‘jauh’ dari saya. Misalnya saya pernah sangat sedih hingga mengalami emotional breakdown ketika mendengar kabar seorang aktivis ditangkap oleh polisi atas protesnya pada pemerintah, atau hati saya yang selalu merasa teriris saat melihat tuna wisma di jalanan Jakarta. Kenal juga tidak, ngapain sepeduli itu? Lebay ah.
Simpati saya yang mungkin berlebihan tadi tidak selamanya buruk, hal-hal itulah yang kemudian menjadi drive saya dalam bertindak, memilih pekerjaan, dan keputusan untuk belajar lebih lanjut tentang kebijakan publik misalnya, namun saya masih sering ‘terlalu baper’ dalam perjalanannya.
Pada banyak contoh yang beredar, circle of concern diumpamakan sebagai hal yang benar-benar di luar kontrol kita. Keputusan pemerintah sering ditempatkan pada lingkaran ini, kemacetan, mahalnya biaya kesehatan, dan ekonomi yang memburuk seolah-olah hanya bisa masuk pada lingkaran kepedulian kita.
Menarik atau merelakan
Lantas apa? Kita harus ingat bahwa esensi sikap proaktif menurut Covey adalah memperbesar circle of influence kita. Apa yang dapat kita lakukan sebagai warga negara ketika melihat ‘ketidaknyamanan’ yang mengusik circle of control kita? Diam saja, atau menariknya ke circle of influence kita?. Hingga kini saya masih mencoba menavigasi dua strategi ini, memutuskan secara sadar untuk berbuat sesuatu atasnya, atau merelakan. Tapi masa sih sekadar merelakan? Sesusah itu ya bestie legowo :’)
Kemudian saya teringat salah satu hadits arbain yang cukup populer, bahkan pernah dikutip oleh Joe Biden ketika kampanye sebagai calon presiden Amerika Serikat.
‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]
Maka ijinkan saya meredefinisi konsep circle of concern a la Stephen Covey menjadi:
Circle of Concern : Lingkaran doa
Circle of Influence : Lingkaran dakwah
Circle of control : Lingkaran amal
maaf ya gambarnya jelek wkwk |
Jika belum mampu untuk beramal atau bahkan ‘berdakwah’ atas sesuatu yang kita pedulikan, maka semoga kita senantiasa dimampukan untuk mendoakannya.
Aamiin.
No comments:
Post a Comment