Jadi ceritanya hari itu saya sedang merapikan buku- buku saya untuk disumbangkan. Kemudian mata saya tertuju pada sebuah buku berjudul 'Sungai dari Firdaus'. Buku ini adalah karya Charles Dawkins dengan judul asli River Out Of Eden. Saya tertarik membaca halaman demi halaman dan sangat menikmatinya, tidak jarang terkekeh dengan humor- humor yang diselipkan Dawknis. Salah satunya mengigatkan bahwa semua orang di dunia ini adalah sepupu, entah sepupu yang keberapa. Jadi suatu hari jika seseorang menikah, berarti dia menikahi sepupunya! Haha. Oia, buat yang belum tahu Charles Dawkins adalah ilmuwan biologi yang cakap di bidang evolusi, buku ini pun membahas tentang evolusi.
Kemudian saya membaca halaman belakang di mana terdapat rangkuman isi buku dan profil penulis. Saya selalu suka membaca profil penulis pada sebuah buku, karena saya tertarik bagaimana penulis (atau mungkin editornya) mendeskripsikan dirinya dalam kolom yang sangat singkat. Dan dari deskripsi itu kemudian saya mengetahui bahwa Charles Dawkins adalah pemegang gelar keprofesoran Charles Simonyi untuk pemahaman publik atas ilmu pengetahuan. Tanpa kepo lebih lanjut, saya menyetujui bahwa Dawkins memang pantas menyadang gelar tersebut. Padahal Sungai Dari Firdaus juga buku karya Dawkins pertama dan baru satu- satunya yang saya baca.
Kepo selanjutnya mengantarkan saya pada pengetahuan bahwa Charles Simonyi adalah seorang saintis sekaligus filantropis ia menyumbangkan sejumlah kekayaannya beberapa proyek pengembangan ilmu pengetahuan, salah satunya adalah bidang "Pemahaman publik atas ilmu pengetahuan" di Universitas Oxford ini.
Sekarang kita kembali ke Indonesia. Saya bukan tipe orang yang suka mengeluhkan keadaan tanah air karena menurut saya hal itu tidak menyelesaikan masalah bahkan mendorong kita untuk berpikir negatif terus menerus tentang negara kita. Tapi saat saya pergi ke toko buku - sebuah kemewahan yang tidak dapat saya nikmati di kampung halaman saya, karena di sana tidak ada toko buku yang bagus. Bagus dalam artian seperti Gramedia atau Toko Gunung Agung misalnya. Tak usah se muluk Kinokuniya atau Periplus. Oke selain keterbatasan akses pada buku yang saya alami ketika kecil, kini saya tinggal di kota dan dapat menikmati buku- buku populer. Ketika saya pergi ke rak psikologi misalnya, saya heran kok beda ya psikologi populer yang ada di toko buku dengan apa yang saya pelajari di kampus.
Hingga akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa memang ada gap antara para 'ilmuwan' dan masyarakat 'awam'. Sedihnya karena gap ini, membuat masyarakat awam gampang percaya pada berita hoax yang bertebaran di sosial media yang dengan mudah mereka akses. Para ilmuwan pun sudah kadung merasa tinggi dan berbeda kasta dengan si awam. Sang ilmuwan hanya membicarakan masalah sains dan apa yang ia pelajari dengan sesamanya. Opini saya ini sangat serampangan memang. Mungkin ada beberapa insan terpelajar yang tersinggung, hehe.
Tapi membicarakan ilmu pengetahuan dengan orang yang berbeda bidang dengan kita memang tidak mudah. Misalnya ketika saya coba menjelaskan topik skripsi saya pada kakak- kakak saya yang belajar Ekonomi dan Seni, tentu tak mudah bagi mereka memahami apakah memang ada hubungan antara kebahagiaan dan partisipasi politik, hingga topik ini pun tak menarik dan saya hanya bisa bilang "yah jurnalnya bilang gitu". Padahal ini tanda kalau mungkin saya sesungguhnya belum paham paham banget sama topik yang saya pelajari. Haha *ketawamiris*
Untuk apa kita terus terusan menerangi tempat yang sudah terang ya, bukankah lebih baik ketika menerangi tempat yang gelap. hihi
Selamat menerangi!
No comments:
Post a Comment