Hari ini, mungkin ketika tulisan ini di’terbit’kan di blog, saya sudah berusia 31 tahun.
Tiga puluh satu.
Tua banget anjir
Setidaknya mungkin dulu itu yang saya bayangkan, 31 adalah usia dimana mama melahirkan saya, anak ketiganya.
Entah apa yang saya bayangkan dulu ketika saya berusia 31, sudah menikah dan punya anak mungkin, tapi ya jangan tiga juga. hehe
Apa yang saya lakukan di usia ini adalah satu titik nan jauh di kutub seberang settling down.
Bulan ini, saya keluar dari flat saya di London dan memutuskan keliling… Eropa, well saya tidak mau menyebutnya keliling dunia.
Mari kita mundur sedikit, 18 Juni 2024, sembilan hari sebelum saya berusia 30. Saya mendapat email itu, pengumuman lolos Chevening. Sebuah hal (saya tidak mau menyebutnya sekadar beasiswa) yang entah bagaimana hati saya tergerak untuk mencoba. Saat itu saya bilang ke semua orang ‘cuma iseng’, karena memang… ya saya tidak tahu kenapa saya HARUS coba.
Mungkin memang sudah meant to be.
Saya lolos
Kadang saya merasa tidak adil karena saya tahu ada banyak orang yang lebih menginginkan beasiswa ini.
What did I do to deserve this?
Kemudian saya mengingat tahun-tahun sebelumnya. 15 Juni 2021
Tepat 12 hari sebelum berusia dua tujuh, Ayah saya meninggal ‘mendadak’, tidak sampai tiga hari setelah masuk rumah sakit.
Saya bingung—jujur, rasanya tidak ada kata yang lebih mampu mewakili perasaan (atau proses) grieving yang saya alami.
Tapi saya tetap hidup, entah bagaimana caranya, menyelesaikan gelar master kebijakan publik di SGPP, tetap bekerja (walaupun akhirnya resign).
Saya mencoba untuk tetap hidup, menjadi volunteer untuk Habitat for Humanity mengecat rumah warga di Gunung Kidul. Seminggu dua minggu numpang di kosan saudara di Jogja. Menjadi fasilitator seorang peneliti dari New York yang meneliti tentang sejarah PKI di Cilacap!
sungguh random
Hingga akhirnya Agustus 2022 saya bekerja lagi, di Kemendikbud! bersama Hilmar Farid! Haha.
Agak delusional rasanya menyebut itu pekerjaan impian karena saya juga tidak menyangka pekerjaan itu ada in the first place.
Pekerjaan itu sulit, sangat sulit.
Tapi seperti apa kata Sapardi, mencintai cakrawala harus menebas jarak.
Pekerjaan itu (yang deskripsinya saya ulang ribuan kali: membangun institusi yang mengelola museum dan cagar budaya di Indonesia) lah yang akhirnya mengantarkan saya ke London.
Ke SOAS
dengan Chevening
Yang kemudian-kemudian berlalu seperti mimpi yang terlalu indah.
Saya bisa melihat lukisan-lukisan yang dulu cuma bisa saya tebak di freerice.com
Mengunjungi rumah Sylvia Plath di dekat Primrose Hill
Selain London dan UK, akhirnya paspor saya juga ditempel visa schengen, yang jika tidak karena sebuah konferensi di Wina tentang Gender mungkin juga saya tidak akan bother to apply.
Saya mengunjungi pedesaan Eropa yang maha indah: Salzburg, Hallstatt, Ghent
dan Paris, Berlin, Roma yang sibuk
bersama dan bertemu orang-orang baik yang sayangi.
pretending that I am the main character of chicklit Sitta Karina never even dare to write.
Anak kecil yang pulang sekolah harus ngasih makan ayam petelur peliharaan ibunya yang jumlahnya ratusan itu mungkin tidak pernah bermimpi se-muluk ini.
Tapi kemudian saya sadar, bahwa hidup memang selalu baik sama saya.
Kalau kata teman saya Esa “regression to the means” everything will be alright.
Memori-memori baik selama setahun ke belakang akan saya simpan baik-baik di lobus frontalis saya (bener ga sih).
Bersyukur di hidup yang cuma sekali, atau setidaknya di versi semesta yang ini (hehe)
Allah telah memberikan sangaaaat banyaaak nikmatNya, bahkan ke hambaNya yang ngeyelan dan banyak dosa ini :”
Mari bersulang untuk hal-hal seru lain di dekade ini.
Cheers