sto·i·cism
/ˈstōəˌsizəm/
noun
- 1.the endurance of pain or hardship without the display of feelings and without complaint.
Belakangan kayaknya istilah ini mulai agak populer di Indonesia karena Henry Manampiring bikin buku Filosofi Teras. Gue belum baca sih. Haha. Tapi pernah belajar stoicism ini dulu di kampus.
Intinya, kalau sepemahaman gue, stoic itu gak bereaksi berlebihan terhadap apapun yang terjadi dalam hidup kita, walaupun itu 'menyakitkan'. Kalau kata orang Jawa (baca: bapakku) ora usah getun. Gak usah kecewa berlebihan. Gak usah marah, sedih berlebihan.
Belakangan gue 'kehilangan' dua hal yang cukup signifikan: pertama, saat otw balik ke Cilacap, gue lupa bawa charger, powerbank dan earphone. Waduh, beberapa menit pertama pas baru nyadar, cukup panik. Tapi yaudahlah mau gimana lagi (kayaknya kalimat ini kunci stoicism). Akhirnya yang gue lakukan adalah whatsapp mama, ngabarin kalau misalnya nanti gak bisa dihubungin gak usah panik, karena batre gue lowbatt atau mati. Karena gak bisa dengerin spotify, sepanjang perjalanan gue malah banyak merenung dan akhirnya tidur cukup nyenyak.
Sampai di rumah, masih agak mati gaya juga karena gak ada earphone. Tapi ternyata, karena gak ada konsumsi audio, gue malah bisa menyelesaikan baca dua buku.
Kemalangan (walah lebay) gue gak berhenti sampai di situ. Gue accidentally menghapus semua pesan whatsapp di hape gue termasuk whatsapp dari bang Fay. Sebelumnya sejak punya hape ini, gue gak pernah hapus pesan di whatsapp, mungkin sudah hampir dua tahun lebih. Again, tapi yaudahlah mau gimana lagi. Karena semua pesan itu terhapus, gue jadi punya free memory untuk menginstall game kesukaan gue, hahaha.
Intinya, mungkin gue sedang dilatih untuk menjadi stoic, untuk letting go obstacle-obstacle kecil dalam hidup biar bisa terus 'maju'. Dan mengalihkan energi gue untuk hal lain yang lebih penting.
Aja kakehan getun.
No comments:
Post a Comment