Tulisan ini merupakan after affect kompre (ujian
komprehensif) mata kuliah Pelatihan II. Tugas akhir mata kuliah ini adalah
membuat rancangan pelatihan dan kemudian diuji secara lisan. Unfortunately,
kelompok saya memang kurang siap, mendapat giliran ujian awal, dan penguji kami
adalah dosen senior yang merupakan pakar di bidang pelatihan J (not to mention her J).
Insight dari kompre tadi adalah sangat mendalam. Seperti
judul artikel ini, kita harus berpikir dengan hati- hati, apalagi dalam konteks
sebagai akademisi. Setiap frasa dan kalimat harus dapat divalidasi, siapa yang
mengucapkan, kapan, tercantum di mana, dan seterusnya. Bagaimana kaitan antar
argumen dan sebagainya dan seterusnya. Pusing ya?
Iya, tapi kemudian saya mikir, kalau kita, kaum akademisi
nan tercerahkan dan budiman yang sudah
tahu kalau berpikir itu harus sistematis, logis dan rasional (halah) malah
mager dan menyerah. Nanti bisa bisa dikalahkan oleh para kaum modal screenshot
itu (wkwk, mungkin Cuma saya yang mengerti). Apalagi lahan kami, psikologi,
yang sangat rawan untuk diambil alih common sense.
Sedih memang kalau alur berpikir kita yang pemula ini
dikomentari pedas pedas oleh dosen. Tapi lebih sedih lagi jika kemudian apa
yang ‘benar’ dan akademis hanya dapat dinikmati sebagian kecil kalangan. Sedangkan
khalayak malah menikmati wacana wacana yang tak jelas sumbernya.
Mungkin benar apa kata pak menteri pendidikan, mendidik
adalah kewajiban setiap terdidik. Jika ada memiliki ilmu, bagilah kepada
sekitar, maka ilmu itu akan bertambah *walah so bijak banget* Semoga teman saya
yang pintar- pintar kelak tidak membangun pagar dengan dunia luar. Semoga semua
yang berilmu bisa membagi ilmunya dengan siapa saja.
semoga kita semua sadar bahwa berpikir itu memang tidak mudah, maka kita harus berani dan hati- hati
No comments:
Post a Comment