DILEMA AFFIRMATIVE ACTION
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEMBAGA LEGISLATIF
Oleh : Binar Asri Lestari
(1106057393)
“In Britain,
there will be no female prime minister. Not in my lifetime”
–Margaret Thatcher
Menjelang Pemilu 2014, beberapa
partai politik berlomba- lomba menampilkan beberapa kader unggulan mereka untuk
bertarung di pesta politik tahun depan itu. Beberapa masalah pun muncul ketika
proses verifikasi parpol. Salah satu masalah yang muncul adalah masalah
keterwakilan perempuan dalam parpol. Batas bawah untuk perempuan dalam parpol
adalah 30%. Namun, apakah angka tersebut telah mencerminkan keterwakilan hak
dan kepentingan perempuan yang sesungguhnya?.
Gender seharusnya menjadi
diferensiasi sosial bukan stratifikasi sosial. Namun dalam beberapa aspek,
perempuan masih sering dianggap subordinat laki- laki. Hingga kini, politik
masih dianggap sebagai dunianya laki- laki.
Banyak yang sering menganggap politik
adalah masalah pemimpin dan kepemimpinan. Menurut trias politica ada tiga aspek kekuasaan dalam suatu negara yaitu
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemimpin biasanya ada pada taraf
eksekutif atau pemerintahan. Ketika perempuan memang dianggap belum atau tidak
layak menjadi pemimpin negara. Namun legislatif adalah persoalan wakil untuk
mengakomodasi kepentingan. Idealnya legislatif adalah para ‘wakil rakyat’ yang
dipilih oleh rakyat yang diharapkan bisa mengakomodasi kepentingan rakyat.
Kepentingan dan hak perempuan
seringkali absen dari perhatian lembaga negara ini. Lebih jauh, beberapa hak
perempuan yang seharusnya menjadi otonominya malah terlalu jauh diatur oleh
negara, baik disadari maupun tidak. Hal ini kemudian menjadi polemik karena
para birokrat negara terdiri dari para laki- laki. Kemudian ditetapkan
kebijakan affirmative action bagi perempuan
untuk menduduki kursi legislatif dengan harapan para perempuan ini bisa
mengakomodasi kepentingan dan memperjuangkan hak kaumnya.
Indonesia menetapkan keterwakilan 30
persen perempuan dalam lembaga legislatif (DPR, DPRD, DPD) yang diatur dalam
pasal 8 butir d UU nomor 10/2008. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa salah
satu syarat suatu parpol mengikuti Pemilu adalah sekurang- kurangnya terdapat
30% pengurus perempuan dalam parpol tersebut di tingkat pusat. Pasal 53 UU
Pemilu Legislatif tersebut juga menyatakan daftar bakal calon memuat paling
sedikit 30% keterwakilan perempuan.
Keterwakilan 30% ini sudah diterapkan
sejak pemilu Indonesia tahun 2004. Hal ini merupakan tuntutan dari para aktivis
perempuan. Kampanye kuota ini merupakan bentuk kelanjutan dari perjuangan
perempuan di ranah politik setelah hak pilih perempuan di awal abad 20
terpenuhi. Padahal sesungguhnya
persamaan hak warga negara Indonesia telah tercantum pada UUD 1945 pasal 28H
ayat 2 yang menyatakan “Setiap orang
berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Salah satu implementasi affirmative action yang kemudian
diterapkan di Indonesia adalah dengan menggunakan zipper system, yakni dengan menetapkan setiap tiga calon legislatif
terdapat satu calon perempuan.
Usaha ini memang telah membuahkan
peningkatan yang cukup signifikan secara kuantitatif. Pada pemilu 2009 terdapat
18% perwakilan perempuan dalam legislatif, dibandingkan pemilu 1999 yang hanya
9%.
Peningkatan jumlah ini menurut saya
tidak disertai dengan peningkatan kualitas perempuan yang menjadi wakil rakyat
pembuat kebijakan di DPR. Masalah pertama ialah stereotip bahwa politik adalah
ranah para laki- laki. Hal ini kemudian menurunkan minat perempuan untuk ikut
bergabung dalam bidang tersebut. Bahkan untuk ngobrol atau diskusi tentang
politik saja mungkin muncul keengganan.
Hal ini kemudian memunculkan terbatasnya
akses perempuan untuk mendapatkan pendidikan politik yang memadai. Pun setelah
mereka memperoleh pendidikan politik, jarang ada yang mau terjun ke dunia
politik praktis. Mereka yang kemudian menjadi politisi perempuan di Indonesia
adalah orang- orang yang memiliki ‘akses lebih’ misalnya para keluarga atau
kerabat politisi, kelompok lain yang mempunyai kesempatan adalah para public figure, misalnya para artis atau
tokoh masyarakat.
Setelah berhasil menjadi calon
legislatif pun, peluang calon perempuan untuk menang dari calon laki- laki
cukup kecil karena para perempuan belum tentu memilih sesama perempuan sebagai
wakilnya. Seperti dilansir Psychology Today, hal ini disebabkan pemilih
perempuan (dalam hal ini di Amerika Serikat) menginginkan ‘figur ayah’ dari
para pemimpin mereka, selain itu beberapa perempuan menganggap diri mereka
tidak lebih baik dari para laki- laki. Saya mengasumsikan bahwa para pemilih
perempuan disini masih mengalami electra complex dalam memilih pemimpin atau
anggota legislatif
Dalam buku Survival of The Prettiest juga disebutkan bahwa bagi perempuan, penampilan
fisik sangat penting sebagai penentu dalam karirnya. Ternyata, hal ini tidak
berlaku bagi laki- laki. Sebuah survey menyatakan bahwa Mitt Romney terlihat
lebih tampan daripada Barack Obama, namun nyatanya Obama lah yang terpilih
sebagai presiden Amerika Serikat.
Fenomena yang disebut glass ceiling effect ini menjadi
hambatan bagi perempuan untuk menyuarakan pendapatnya di tingkat negara.
Affirmative action ini kemudian seolah- olah hanya menjadi angka pembungkam belaka. Toh,
perempuan yang sekarang menduduki kursi legislatif tidak terlalu memperhatikan
kepentingan kaumnya. Bahkan tidak menuntup kemungkinan para laki- laki yang
justru lebih memahami masalah perempuan lebih tepat untuk mewakili para
perempuan dalam lembaga legislatif untuk mengakomodasi kepentingan- kepentingan
perempuan.
Kesempatan laki- laki yang lebih
besar dalam ranah politik memungkinkan mereka untuk lebih dulu mendapatkan
pendidikan tentang politik, di dalamnya termasuk kepentingan- kepentingan
perempuan. Jumlah laki- laki yang banyak dalam dunia politik membuat mereka
benar- benar diseleksi secara ketat untuk mencapai posisi sebagai anggota
legislatif.
Sesungguhnya keterwakilan perempuan
dalam parlemen menjadi salah satu solusi untuk berbagai masalah perempuan yang
kompleks. Namun kemudian ternyata hal ini menuntut kesiapan dari para perempuan
yang mewakili kaumnya di parlemen ini.
Menurut saya, pendidikan politik bagi
seluruh warga negara, terutama perempuan menjadi sangat krusial untuk masalah
ini. Perempuan yang menjadi legislator bukan hanya menjadi boneka untuk semata-
mata memenuhi kuota. Masyarakat Indonesia diharapkan untuk memahami perempuan
dengan segala keterbatasannya dalam publik. Pemahaman ini kemudian memunculkan
empati sebagai sesama warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Stereotip dan prasangka memang bukan
hal yang mudah untuk diubah dalam masyarakat yang telah membudaya. Usaha untuk
menghapuskan streotip lama yang mendiskreditkan perempuan bisa dilakukan dengan
penerapan pola asuh parenthood bukan lagi motherhood. Pendidikan di sekolah dan
peran media massa juga penting untuk pengubahan stereotip ini.
Memang perjuangan untuk menyuarakan
hak dan kepentingan perempuan tidak harus ditempuh melalui jalur politik.
Banyak hal yang bisa dilakukan oleh perempuan untuk memenuhi haknya dan hak
kaumnya seperti berkecimpung dalam dunia pendidikan, jurnalistik, sastra,
ekonomi, sosial, industri, kesehatan, dan lain- lain. Namun politik sebagai
penentu kebijakan menjadi penting bagi seluruh kegiatan warga negara yang ada
di Indonesia.
Terakhir, hal yang paling penting
adalah bagaimana negara kemudian menjamin perempuan dapat masuk ke dalam
berbagai lini kehidupan bermasyarakat. Kebebasan perempuan dapat diatur dan
dijamin dalam undang- undang untuk menjadi warga negara yang berdaulat.
Sumber :
Drexler, P. (2013,
January 4). Gender : Why Aren't Women Voting for Women? Dipetik May 25,
2013, dari Psychology Today:
psychologytoday.com/blog/our-gender-ourselves/201301/why-aren-t-women-voting-for-women
Mulyono, I. (2010).
Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan. Diskusi Panel RUU Pemilu-
Peluang untuk Keterwakilan Perempuan (hal. 1- 6). Jakarta: dpr.go.id.
N/A. (N/A).
Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif. Workshop gender, politik, dan
kekuasaan, UGM (hal. 1- 5). Yogyakarta: menegpp.go.id.
Sarwono, S. W., &
Meinarno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Tong, R. (2009). Feminist
Thought. Charlotte: Westview Press.
ps: ini tugas akhir saya untuk mata kuliah Paradigma Feminis semester 4 lalu, walaupun kacrut menurut standar APA tapi dapet A lho, ehehehek. first time ngepost tugas di blog, haha semoga bermanfaat