Nak, dulu banyak orang berpesan pada Ibu. Bahwa tugas Ibu adalah di rumah memasakkan makanan terlezat untuk suami dan anak-anak Ibu. Beranjak dewasa Ibu bingung, karena suami dan anak-anak itu tidak kunjung hadir dalam hidup Ibu.
Ibu marah dan sedih, lalu apa sebenarnya yang bisa Ibu lakukan?. Ibu bekerja tidak kenal lelah, Ibu yakin semoga kerja Ibu bermanfaat bagi banyak saudara kita di luar sana. Tapi diam-diam Ibu menanti. Menanti suatu hari bisa bersenda gurau dengan keluarga kecil kita di meja makan terhangat di dunia ini.
Lalu Ibu bertemu Ayahmu. Seseorang yang selalu sabar mendengarkan saat Ibu marah atau sedih. Kami menikah, Ibu bahagia sekali hari itu. Ratusan orang berkumpul menyelamati kami. Ibu makin tidak sabar bertemu kamu, anak-anak yang konon menjadi fitrah untuk Ibu besarkan.
Sepuluh tahun berlalu, kamu belum juga hadir. Belum ada tawa saat sore hari di belakang rumah kita. Belum ada tangismu di tengah malam yang membangunkan kami dari tidur paling pulas.
Orang-orang mulai menasihati Ibu lagi. Menyuruh Ibu berhenti bekerja, meminum ramuan ini itu, bahkan menyuruh Ayahmu menikah lagi, dengan perempuan yang barangkali bisa menghadirkanmu di dunia ini, yang lebih sempurna daripada Ibu.
Yang mereka tidak tahu nak, berapa jarum suntik yang telah Ibu rasakan, betapa dingin meja operasi yang Ibu lewati. Ibu terus berdoa, agar suatu saat bisa berjumpa denganmu, walau tulang ini barangkali sudah tidak kuat menggendong tubuhmu kelak.
Hari ini Ibu sangat bahagia, jantung Ibu rasanya ingin keluar dari rongganya. Pertama kali kami mendengar tangisanmu yang sangat kencang. Matamu yang teduh dan sangat cantik.
Ibu mendekapmu erat-erat, memastikan dunia ini aman untukmu. Alexandria, kamu mungkin tidak lahir dari rahim Ibu, tapi kamu datang dari hati Ibu.
Peluk sayang,
Ibu, Ayah dan Bunda